Sabtu, 23 Juni 2012

14. Tidak Ada Pemberi Rezeki Kecuali Allah



Khutbah Jum'at Drs. St. Mukhlis Denros
Di Masjid Nurul Yakin
Jorong Cubadak Nagari Pianggu
Kecamatan IX Koto Sungai Lasi
Kabupaten Solok Sumatera Barat
Tanggal 05 Februari 2010


اَلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ عَبْدِكَ وَرَسُوْلِكَ، اَلنَّبِيِّ اْلأُمِّيِّ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ. أَمَّا بَعْدُ؛
فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، اِتَّقُوا اللهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ، وَاتَّقُوا اللهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ.
قَالَ اللهُ تَعَالَى فِي الْقُرْآنِ الْكَرِيْمِ،:

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. Aku tidak menghendaki rezki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi-Ku makan. Sesungguhnya Allah dialah Maha pemberi rezki yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh.”[Adz Dzariyat 51;56-58]

Hadirin, jama’ah jum’at yang dirahmati Allah,
Ujud ketundukan seorang muslim kepada Allah adalah selalu menyanjungkan puji syukur atas segala nikmat yang diberikan Allah kepadanya karena tanpa nikmat itu hidup kita tidak berarti, apalagi nikmat iman dan islam yang merupakan nikmat terbesar dari Allah Swt, semoga kita mampu membuktikan syukur itu dalam amaliyah ibadah yang kita lakukan.

Shalawat dan salam selalu kita sampaikan kepada Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib, Nabi akhir zaman yang telah menunjukkan kepada dunia tentang kebebasan hidup untuk memilih dan meraih kebenaran hakiki yaitu Al Islam, dengan tidak melupakan para syuhada', para sahabat dan keluarga dan kaum kerabat beliau hingga akhir zaman.

Dari mimbar ini khatib mengajak kita semua untuk meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah Swt, yang diiringi amaliah ibadah sehari-hari yang merupakan implementasi rasa syukur kepada-Nya. Adapun tema khutbah pada hari ini adalah' Tidak ada Pemberi Rezeki Kecuali Allah".

Hadirin, jama’ah jum’at yang dirahmati Allah,
Kehadiran manusia di dunia ini dibawah lindungan dan pengawasan Allah, hidup dan matinya dalam genggaman-Nya, sakit dan sehatnya di bawah kekuasaan Allah, demikian pula tentang rezeki, jangankan manusia sedangkan ulat di sela-sela batu saja masih diberi rezeki yang layak untuknya. Keimanan kepada kalimat tauhid yang berbunyi,”Laa Ilaaha Illallah” mengandung salah sat u makna yaitu “Laa Raaziqu Illallah” artinya tidak ada Pemberi rezeki kecuali Allah. Keimanan ini harus terhunjam dalam diri seorang mukmin, bila tidak maka syirik menyertainya yang dapat mencemarkan tauhid [51;56-58]

Namun rezeki tersebut tidaklah turun dari langit dengan demikian saja tanpa usaha, usaha itu menunjang untuk dapatnya rezeki dari Allah, firman-Nya dalam beberapa ayat menerangkan;
“ Sesungguhnya usaha kamu memang berbeda-beda. Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa,Dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (syurga),Maka kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup,Serta mendustakan pahala terbaik,Maka kelak kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar”[Al Lail 92;4-10].
“ Dan carilah pada apa yang Telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah Telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”[Al Qashash 28;77]

Hadirin, jama’ah jum’at yang dirahmati Allah,
Setelah manusia menjadi dewasa, maka berusahalah mereka mencari nafkah hidup dengan bermacam-macam usaha yang sesuai menurut kemampuan mereka masing-masing. Diantaranya ada yang menjadi pedagang, buruh, tani, guru, membuka perusahaan atau pabrik, berkuli dan sebagainya. Mereka mencari rezeki yang halal, maka Allah akan memberkati hidup dan kehidupannya.

Diantara mereka banyak yang dapat menghasilkan rezeki yang berlipat ganda, berlebih dari kecukupan untuk hidupnya dengan keluarganya, maka orang itu jangan lupa memberikan pertolongan kepada sesama manusia yang sangat mengharapkan pertolongannya itu. Janganlah manusia jika telah merasa dirinya cukup lalu bersombong diri, nanti Allah akan mudah mengambil kekayaannya itu kembali dari diri orang itu dan tentulah nantinya akan menyesal.

Seorang mukmin yang telah bersyahadat meyakini bahwa yang memberikan rezeki kepada makhluk-Nya adalah Allah Swt, hal ini keyakinan yang mutlak diperlukan, sehingga dalam menghadapi kehidupan ini tidak akan gamang dan tidak terlalu khawatir bila tidak makan.

Bila kita mengundang tamu untuk makan di rumah sebanyak limapuluh orang, maka persediaan untuk itu tentu lebih dari tamu yang akan hadir, apalagi Allah, sekiranya jumlah manusia di dunia ini dua milyar berarti Dia telah menyediakan bahan makanann lebih dari itu.

Rezeki yang diberikan Allah kepada hamba-Nya juga tidak lepas dari ikhtiyar artinya bekerja dengan optimal kemudian bertawakkal kepada-Nya;
“Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah Telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu”[Ath Thalaq 65;3].

Sedangkan kalau kita mengamati hadits Rasulullah Saw. Maka kita akan menemukan keterkaitan antara tawakkal dan rezki ini, sebagaimana sabda Rasulullah,”Seandainya engkau bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benarnya, niscaya Allah akan memberimu rezeki sebagaimana Dia memberi rezeki kepada burung”

Hadirin, jama’ah jum’at yang dirahmati Allah,
Kalau kita lihat fase-fase datangnya rezeki, maka kita akan dapat menemukan tiga fase penting yang dapat menghantarkan manusia kepada sebuah kesuksesan.

Pertama, adalah tawakkal terhadap Allah swt, setelah bertawakkal maka dia memasuki fase yang kedua, yaitu usaha. Dan setelah usaha dilakukan dengan sebaik mungkin, maka dia akan memasuki fase ketiga, yaitu menemukan keberhasilan dari apa yang diusahakan. Dan keberhasilan ini identik dengan rezeki.

Kalau kita perhatikan definisi rezeki, maka jelaslah bagi kita kesalahan yang tersebar, bahwa usaha itu adalah penyebab datangnya rezeki, adalah asumsi yang salah sekali.
Karena kita masih banyak yang menyaksikan orang yang dengan gigih berusaha untuk mendapatkan rezeki yang ia inginkan, namun rezeki itu tidak kunjung datang. Dan kita juga masih banyak melihat orang yang tidak berusaha untuk mendapatkan rezeki, namun rezeki itu datang kepadanya dengan tanpa disangka-sangka.

Di balik usaha kita terdapat sebuah kekuatan yang dapat mengatur perjalanan dan eksistensi rezeki itu sendiri. Dan kekuatan itu dapat diketahui melalui perasaan, dan eksistensinya dapat diketahui dengan adanya tanda-tanda yang ditimbulkannya;
“Dan di langit terdapat (sebab-sebab) rezkimu dan terdapat (pula) apa yang dijanjikan kepadamu. Maka demi Tuhan langit dan bumi, Sesungguhnya yang dijanjikan itu adalah benar-benar (akan terjadi) seperti perkataan yang kamu ucapkan.”[Adz Dzariyat 51;22-23]

Konsekwensi dari pernyataan, sumpah dan janji yang tertuang dalam syahadatain adalah mengakui bahwa segala rezeki yang kita terima tersebut hakekatnya adalah dari Allah, usaha dan do’a hanya sebatas dorongan untuk terealisasinya rezeki Allah tersebut kepada hamba-Nya untuk dinikmati.

Hadirin, jama’ah jum’at yang dirahmati Allah,
Hidup perlu kerja dan perjuangan yang dimotori oleh do’a, tanpa ini akan menimbulkan kesombongan , do’a tanpa perjuangan adalah suatu kebohongan. Kerja, doa dan tawakkal, wallahu a’lam [Mdr, 2009]


فَاسْتَبِقُواْ الْخَيْرَاتِ أَقُوْلُ قَوْلِي هَذا أَسْتَغْفِرُ اللهَ إِنّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرّحِيْم




Tidak ada komentar:

Posting Komentar