Kamis, 04 Mei 2017

202. Berlindung dari Harta Yang Menyiksa



Khutbah Jum’at
Drs. St. Mukhlis Denros
Di Masjid Al Hidayah Profad
Kecamatan Batu Ampar
Kota Batam Kepuluan Riau
8 Sya’ban  1438.H / 5 Mei   2017.M

BERLINDUNG DARI HARTA YANG MENYIKSA


إِنّ الْحَمْدَ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنّ مُحَمّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ اَللهُمّ صَلّ وَسَلّمْ عَلى مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وِأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن.
فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، اِتَّقُوا اللهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ، وَاتَّقُوا اللهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ
قَالَ اللهُ تَعَالَى فِي الْقُرْآنِ الْكَرِيْم
يَاأَيّهَا الّذَيْنَ آمَنُوْا اتّقُوا اللهَ حَقّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنّ إِلاّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ
يَاأَيّهَا النَاسُ اتّقُوْا رَبّكُمُ الّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَنِسَاءً وَاتّقُوا اللهَ الَذِي تَسَاءَلُوْنَ بِهِ وَاْلأَرْحَام َ إِنّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا
يَاأَيّهَا الّذِيْنَ آمَنُوْا اتّقُوا اللهَ وَقُوْلُوْا قَوْلاً سَدِيْدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْلَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيْمًا،
أَمّا بَعْدُ فَأِنّ أَصْدَقَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ، وَخَيْرَ الْهَدْىِ هَدْىُ مُحَمّدٍ صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّمَ، وَشَرّ اْلأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةً، وَكُلّ ضَلاَلَةِ فِي النّارِ.

“Diantara doa Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-,
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ جَارِ السُّوءِ وَمِنْ زَوْجٍ تُشَيِّبُنِي قَبْلَ الْمَشِيبِ وَمِنْ وَلَدٍ يَكُونُ عَلَيَّ رِبًا وَمِنْ مَالٍ يَكُونُ عَلَيَّ عَذَابًا وَمِنْ خَلِيلٍ مَاكِرٍ عَيْنَهُ تَرَانِي وَقَلْبُهُ تَرْعَانِي إِنْ رَأَى حَسَنَةً دَفَنَهَا وَإِذَا رَأَى سَيِّئَةً أَذَاعَهَا
“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari
1.      tetangga yang buruk
2.       istri yang membuatku beruban sebelum masa beruban,
3.      dari anak yang menjadi tuan bagiku,
4.      dari harta yang menjadi siksaan atasku
5.      dan dari kawan yang berbuat makar; matanya memandangiku, sedang hatinya mengawasiku. Jika ia melihat kebaikan, maka ia tanam (sembunyikan) dan jika melihat keburukan, maka ia menyebarkannya”. [HR. Hannad dan Ath-Thobroniy].

BERLINDUNG DARI HARTA YANG MENYIKSA
“Janganlah harta benda dan anak-anak mereka itu membuatmu kagum. Sungguh, Allah hanya ingin menyiksa mereka dengan harta benda dan anak-anak itu dalam kehidupan di dunia…” (QS. At-Taubah [9] : 55)

Tidak mudah memahami, bagaimana Allah menjadikan harta sebagai siksa. Banyak orang memandang harta sebagai standar kemuliaan. Jika melihat seseorang dilapangkan rezeki oleh Allah, mereka akan mengatakan, Allah telah memuliakannya dengan memberinya harta melimpah. Sebaliknya, jika melihat seseorang sedang disempitkan rezekinya, maka mereka mengatakan Allah telah menghinakannya.

Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah pernah menjelaskan, harta kekayaan memang bisa menjadi siksa bagi seseorang.
Yang pertama siksa itu bisa terletak pada saat mencarinya. Kecintaan berlebihan kepada harta, membuat orang melakukan hal-hal yang menyiksa diri untuk mendapatkan harta sesuai dengan yang diinginkannya. Harta miliknya mungkin banyak. Tapi untuk mendapatkannya ia melakukan hal-hal yang menyiksa dirinya.

Yang kedua, Kadang-kadang, siksa harta itu terjadi pada saat harta itu sudah menjadi miliknya. Harta yang diinginkannya jauh lebih banyak dari yang dimilikinya. Ia pun tersiksa ketika harus menjaga hartanya, jangan sampai berkurang atau hilang.

Yang ketiga, Selain itu, harta bisa menjadi siksa bagi seseorang pada saat meninggalkan dirinya. Ia merasa sayang ketika harus menggunakan harta untuk keperluannya sendiri atau keluarganya, untuk membayar kewajiban-kewajibannya seperti zakat dan infak fi sabilillah. Sering pula, ia kehilangan harta, karena kecelakaan, dicuri atau dirampok.

Dalam ketiga keadaan tersebut, harta bisa menjadi siksa bagi seseorang. Yang membuatnya stress, tidak bisa tidur, tidak enak makan, dan tidak bisa menikmati segala aktivitasnya. Allah memberikan harta kepada sebagian hamba yang dikehendaki-Nya dan menahan dari hamba-Nya yang lain yang dikehendaki-Nya. Sebagai ujian dan berbagai hikmah lainnya. Sebaik-baik harta adalah harta yang baik di tangan orang yang shalih.

Manfaat dan Fungsi Harta Dalam Islam
Tidak ada penciptaan Allah Ta’ala yang Dia ciptakan dengan sia-sia tanpa hikmah dan tujuan. Manusia diciptakan Allah Ta’ala dengan tujuan memurnikan ibadah kepada-Nya. Begitupula langit dan bumi serta seluruh isinya diciptakan oleh Allah Ta’ala, diantaranya agar manusia tunduk, taat, bersyukur dan menggunakan fasilitas hidup tersebut untuk memaksimalkan ubudiyyah-nya kepada Allah Ta’ala semata.
Allah Ta’ala berfirman:
وَمَا خَلَقْنَا السَّمَاءَ وَالْأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا لَاعِبِينَ
“Tidaklah Kami ciptakan langit dan bumi dan segala yang ada di antara keduanya dengan bermain-main.” (QS. al-Anbiya: 16)
وَمَا خَلَقْنَا السَّمَاءَ وَالْأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا بَاطِلًا
“Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya tanpa batil tanpa hikmah.” (QS. Shaad: 27)
Begitu pula dengan harta benda yang Allah Ta’ala berikan kepada manusia, agar manusia bersyukur kepada-Nya. Manusia yang menyadari akan keberadaan dan hakekat harta maka dia tidak akan menjadi budak dan hamba harta tapi ia menggunakannya untuk ibadah kepada Rabb alam semesta.

Berikut ini akan dijelaskan beberapa manfaat dan fungsi dari harta benda yang Allah Ta’ala berikan atau tundukan untuk hamba-Nya:
1. Harta adalah Kebutuhan Pokok
Allah Ta’ala adalah pemilik mutlak alam semesta ini. Manusia diberi amanah mengurusi dan mengelola harta yang diberikan kepadanya untuk memenuhi kebutuhan hidup. Dalam menjalani kehidupan, manusia membutuhkan makan, minum, pakaian, tempat tinggal dan kebutuhan hidup lainnya, dan Allah Ta’ala membolehkan manusia untuk menikmati dan menggunakan rezeki yang Allah Ta’ala berikan dengan memberikan batasan-batasan syar’i dalam membelanjakan harta tersebut.
Allah Ta’ala berfirman:
كُلُوا وَاشْرَبُوا مِنْ رِزْقِ اللَّهِ وَلَا تَعْثَوْا فِي الْأَرْضِ مُفْسِدِينَ
“Makan dan minumlah kalian dari rezeki yang diberikan Allah, dan janganlah kalian berjalan di muka bumi dengan berbuat kerusakan.” (QS. al-Baqarah: 60)
Allah Ta’ala berfirman:
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
“Makan dan minumlah kalian, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS. al-A’raf: 31)
Harta yang diberikan kepada manusia bukan hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan pokok manusia saja. Tapi, Allah Ta’ala pun menganjurkan untuk membelanjakan harta tersebut di jalan yang diridhai-Nya seperti menafkahi anak isteri, nafkah orang tua, membantu orang yang membutuhkan dan menginfakkannya fi sabilillah.
Allah Ta’ala berfirman:
آمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَأَنْفِقُوا مِمَّا جَعَلَكُمْ مُسْتَخْلَفِينَ فِيهِ فَالَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَأَنْفَقُوا لَهُمْ أَجْرٌ كَبِيرٌ
“Berimanlah kalian kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari harta kalian yang Allah telah menjadikan kalian menguasainya. Maka orang-orang yang beriman di antara kalian dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar.” (QS. al-Hadid: 07)
Penguasaan harta dalam ayat tersebut bukan secara mutlak karena hak milik mutlak hanya milik Allah Rabb alam semesta. Manusia hanya menggunakan harta itu berdasarkan hukum-hukum yang ditetapkan oleh Allah Ta’ala.
2. Harta Adalah Perhiasan Hidup
Salah satu keindahan dalam kehidupan dunia ini adalah harta benda. Jika harta benda digunakan untuk beramal shalih maka harta itu akan menjadi sebab meraih kebahagiaan di akherat kelak. Jika harta tersebut menjadi sebab berpalingnya seseorang dari Allah Ta’ala maka akan menjadi sebab kesengsaraan seseorang di akherat kelak.
Allah Ta’ala berfirman:
الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ أَمَلًا
Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi shaleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Rabb-mu serta lebih baik untuk menjadi harapan.” (QS. al-Kahfi: 46)
Ayat yang mulia ini menjelaskan bahwa harta dan anak termasuk perhiasan dunia. Harta dan anak disebutkan secara khusus karena termasuk fitnah terbesar pada manusia. Penyebutkan harta didahulukan karena setiap manusia punya harta tapi tidak semua manusia mempunyai anak, dan untuk mendapatkan seorang anak dibutuhkan harta. Baik harta maupun anak, kedua-keduanya perhiasan dunia untuk menguji hamba-hamba Allah Ta’ala, siapa di antara mereka yang terbaik amalnya.
Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّا جَعَلْنَا مَا عَلَى الْأَرْضِ زِينَةً لَهَا لِنَبْلُوَهُمْ أَيُّهُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا
“Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya.” (QS. al-Kahfi: 7)
Ayat ini menegaskan status harta di muka bumi ini sebagai perhiasan dunia untuk menguji siapakah yang terbaik amalnya, bukan terbanyak.
3. Harta Adalah Ujian Bagi Manusia
Harta merupakan salah satu ladang ujian bagi manusia untuk membuktikan yang terbaik di antara mereka. Standar kemuliaan seseorang bukan pada sedikit dan banyaknya harta tapi pada penggunaan harta tersebut. Memiliki harta melimpah dengan digunakannya di jalan yang diridhai Allah Ta’ala seperti untuk menunaikan kewajiban nafkah, zakat, dan infak maka harta menjadi wasilah baginya meraih kemuliaan di sisi Rabb-Nya seperti sahabat Nabi Abu Bakr, Umar, Utsman, Abdurrahman ibn Auf dan lain-lain yang gemar membelanjakan hartanya di jalan Allah. Begitu pula sebaliknya, Berpaling dan lalai kepada Allah Ta’ala karena harta maka akan menjadi sebab kehinaan seperti Qarun.
Allah Ta’ala berfirman:
وَاعْلَمُوا أَنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ وَأَنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ
“Ketahuilah bahwa harta kalian dan anak-anak kalian itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (QS. –Anfal: 28)
رَوَي التِّرْمِذِيُّ عَنْ كَعْبِ بْنِ عِيَاضٍ قَالَ : سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ : إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةً وَفِتْنَةُ أُمَّتِي الْمَالُ.
Al-Tirmidzi meriwayatkan dari Ka’ab ibn Iyadh, ia berkata: Saya telah mendengar Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya masing-masing ummat itu memiliki fitnah (bahan ujian) dan fitnah ummatku adalah harta.” (HR. al-Tirmidzi)
Kedua nash di atas mempertegas bahwa harta adalah ujian. Siapakah di antara manusia yang jika diberi harta bersyukur dan mentaati Allah maka ia berhasil menghadapi ujian tersebut. Adapun jika harta menjadi sebab berpalingnya dari Allah Ta’ala berarti telah gagal menghadapi ujian.
Nabi Sulaiman alaihisalam adalah contoh sosok yang sukses menghadapi ujian harta. Beliau tetap dekat dengan Allah Ta’ala sekalpun kekayaan dan kerajaan sangat dahsyat. Qarun, adalah contoh sosok kebalikan dari Nabi Sulaiman, karena Qarun kufur dan berpaling setelah diberi harta yang melimpah.
Baik kaya maupun miskin, sebenarnya semuanya ujian. Hanya saja diuji dengan sesuatu baik jauh lebih berat dibanding ujian dengan sebuah keburukan.
Allah Ta’ala berfirman:
وَنَبْلُوكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً
“Kami benar-benar akan menguji kalian dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan.” (QS. al-Anbiya: 35)
Allah Ta’ala berfirman dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 155:
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ
“Sungguh akan Kami berikan cobaan kepada kalian, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Sampaikanlah berita berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS. al-Baqarah: 155)
Dikarenakan harta adalah ujian, maka Allah Ta’ala sudah mengingatkan agar tidak tertipu daya terhadap harta tersebut. Peringatan dini ini adalah hujjah bagi manusia di akherat kelak.
Allah Ta’ala berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلَا أَوْلَادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ
“Hai orang-orang beriman, janganlah harta-harta kalian dan anak-anak kalian melalaikan kalian dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi.” (QS. al-Munafiqun: 9)
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلَادِكُمْ عَدُوًّا لَكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ وَإِنْ تَعْفُوا وَتَصْفَحُوا وَتَغْفِرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Hai orang-orang mukmin, sesungguhnya di antara isteri-isteri kalian dan anak-anak kalian ada yang menjadi musuh bagi kalian maka berhati-hatilah kalian terhadap mereka dan jika kalian memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. al-Thaghabun: 14)

4. Harta Adalah Amanah Titipan Allah
Pemilik harta sebenarnya ialah Allah Ta’ala. Kepemilikan harta oleh manusia sebatas mengelola, memanfaatkan dan menunaikan hak dan kewajiban harta. Orang yang memiliki harta berarti memiliki tanggung jawab lebih dibanding orang yang tidak memilikinya.
Allah Ta’ala berfirman:
وَآتُوا حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ وَلَا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
“Tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin); dan janganlah kalian berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.” (QS. al-Anam: 141)
Berkaitan dengan ayat ini para ulama ahli tafsir berbeda pendapat terkait maksud Hak dalam ayat tersebut. Apakah pemberian biasa yang dianjurkan atau zakat. Sebagian ulama berpendapat: Hak dalam ayat ini maksudnya adalah zakat yang diwajibkan. Sebagian ulama lain berpendapat: Maksudnya bukan zakat, melainkan hendaknya memberi kepada orang yang hadir dari kalangan orang miskin tatkala panen satu genggam atau satu ikatan. Sebagian ulama yang berpendapat ini mengatakan hukumya wajib dan sebagiannya lagi mengatakan anjuran. Sebagian ulama lain berpendapat: Ini adalah hak wajib selain zakat, tidak ditentukan dalam jumlah kadar tertentu. Sebagian ulama mengatakan: Bahwa ayat ini sudah dinasakh dengan ayat zakat, karena ayat ini adalah makkiyah dan ayat-ayat zakat diturunkan di Madinah.
Terlepas dari apa makna sebenarnya. Baik zakat maupun infak mustahab, tetap ayat ini menunjukan bahwa ada hak orang lain pada harta seseorang. Sehingga dalam Islam, seseorang yang diberi harta memiliki tanggungjawab lebih dibanding yang tidak memilikinya, yaitu diminta pertanggung jawabannya, dari mana memperoleh harta tersebut dan digunakan untuk apa.
روى الترمذي عَنْ أَبِي بَرْزَةَ الأَسْلَمِيِّ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لاَ تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ القِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ عُمُرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ، وَعَنْ عِلْمِهِ فِيمَ فَعَلَ، وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَ أَنْفَقَهُ ، وَعَنْ جِسْمِهِ فِيمَ أَبْلاَهُ.
Al-Tirmidzi meriwayatkan dari Abu Barzah al-Aslami radhiallahu anhu, beliau berkata: Rasulallah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Seseorang pada Hari Akhir nanti pasti akan ditanya tentang empat hal: Tentang umurnya untuk apa dihabiskan, tentang ilmunya untuk apa dipergunakan, tentang hartanya darimana didapatkan dan untuk apa dipergunakan dan jasmaninya untuk apa dipergunakan.” (HR. al-Tirmidzi)
Di antara tanggungjawab yang harus ditunaikan oleh pemilik harta adalah mengerluarkan zakatnya. Tujuan dikeluarkannya zakat untuk mensucikan pemiliknya dari sifat-sifat buruk seperti kikir, tamak, cinta dunia, sombong, dan egois. Di dalam harta yang sudah terpenuhi syarat-syarat zakat ada milik orang lain yang harus diberikan dan ini menunjukan bahwa harta itu adalah titipan yang tidak boleh dinikmati yang bukan haknya.
5. Harta Adalah Bekal Ibadah
Salah satu fungsi dan manfaat fasilitas harta benda di muka bumi ini adalah untuk memaksimalkan ubudiyyah. Banyak ubudiyyah kepada Allah Ta’ala yang berkaitan dengan harta seperti zakat, nafkah anak istri, menunaikan ibadah haji, ibadah qurban, infak, sedekah, dan ibadah maaliyah lainnya. Maka, seseorang yang mampu memaksimalkan hartanya untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala lebih baik dibanding  seseorang yang tidak memiliki harta, karena dia tidak mampu beramal shalih dengan harta benda.
Di antara pahala terbesar yang telah Allah Ta’ala sediakan untuk orang-orang yang membelanjakan hartanya di jalan Allah seperti infak, sedekah dan senantiasa menunaikan zakat adalah disediakannya pintu khusus masuk surga, yaitu Pintu Sedekah.
Rasulallah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
وَمَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الصَّدَقَةِ دُعِىَ مِنْ بَابِ الصَّدَقَةِ
“Barngsiapa termasuk orang yang senantiasa bersedekah maka dia akan dipanggil masuk Surga lewat pintu sedekah.” (HR. al-Bukhari dari Abu Hurairah)
Disediakannya pintu sedekah membuka peluang bagi hamba-hamba Allah yang diberi anugerah harta untuk bisa beramal dan meraihnya, yaitu masuk surga melalui pintu sedekah. Kesempatan bisa masuk Surga melalui pintu sedekah tidak didapat oleh semua orang. Hanya manusia-manusia pilihan Allah yang dimudahkan membelanjakan hartanya di jalan yang diridhai Allah Ta’ala.
Manfaat lain dari penggunaaan harta untuk beribadah kepada Allah adalah keberuntungan, ampunan, ketentraman jiwa dan menyelamatkan dari adzab yang pedih.
Allah Ta’ala berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا هَلْ أَدُلُّكُمْ عَلَى تِجَارَةٍ تُنْجِيكُمْ مِنْ عَذَابٍ أَلِيمٍ. تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, maukah kalian aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kalian dari azab yang pedih? (yaitu) kalian beriman kepada Allah dan RasulNya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwa kalian. Itulah yang lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (QS. al-Shaff: 10-11)
الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ سِرًّا وَعَلَانِيَةً فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
“Orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam dan di siang hari secara tersembunyi dan terang-terangan, maka mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. al-Baqarah: 274)

بَارَكَ اللهُ لِي وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ. وَنَفَعَنِي وَاِيِّاكُمْ بما فيه مِنَ الآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. وَتَقَبَّلْ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلاوَتَهُ اِنّهُ هُوَ السَّمِيْعُ اْلعَلِيْمُ. فَاسْتَغْفِرُوْا اِنَّهُ هُوَاْلغَفُوْرُ الرَّحِيْم


201. Mencintai Sesama Muslim








Khutbah Jum’at
Drs. St. Mukhlis Denros
Di Masjid Amanatul Haq
Pasar  Tiban Lama, Kecamatan Sekupang
Kota Batam Kepuluan Riau
1 Sya’ban  1438.H /  28  April  2017.M


MENCINTAI SESAMA MANUSIA

إِنّ الْحَمْدَ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنّ مُحَمّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ اَللهُمّ صَلّ وَسَلّمْ عَلى مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وِأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن.
فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، اِتَّقُوا اللهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ، وَاتَّقُوا اللهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ
قَالَ اللهُ تَعَالَى فِي الْقُرْآنِ الْكَرِيْم
يَاأَيّهَا الّذَيْنَ آمَنُوْا اتّقُوا اللهَ حَقّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنّ إِلاّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ
يَاأَيّهَا النَاسُ اتّقُوْا رَبّكُمُ الّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَنِسَاءً وَاتّقُوا اللهَ الَذِي تَسَاءَلُوْنَ بِهِ وَاْلأَرْحَام َ إِنّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا
يَاأَيّهَا الّذِيْنَ آمَنُوْا اتّقُوا اللهَ وَقُوْلُوْا قَوْلاً سَدِيْدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْلَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيْمًا،
أَمّا بَعْدُ فَأِنّ أَصْدَقَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ، وَخَيْرَ الْهَدْىِ هَدْىُ مُحَمّدٍ صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّمَ، وَشَرّ اْلأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةً، وَكُلّ ضَلاَلَةِ فِي النّارِ.

Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam bersabda:
يَا أَبَا هُرَيْرَةَ كُنْ وَرِعًا تَكُنْ أَعْبَدَ النَّاسِ وَكُنْ قَنِعًا تَكُنْ أَشْكَرَ النَّاسِ وَأَحِبَّ لِلنَّاسِ مَا تُحِبُّ لِنَفْسِكَ تَكُنْ مُؤْمِنًا وَأَحْسِنْ جِوَارَ مَنْ جَاوَرَكَ تَكُنْ مُسْلِمًا وَأَقِلَّ الضَّحِكَ فَإِنَّ كَثْرَةَ الضَّحِكِ تُمِيتُ الْقَلْبَ
Wahai Abu Hurairah ;
1.      jadilah engkau orang yang wara’ maka engkau menjadi orang yang paling beribaddah
2.      dan jadilah orang yang qanaah (menerima) maka engkau menjadi orang yang paling bersyukur.
3.       Cintailah untuk manusia apa yang engkau cintai untuk dirimu maka kamu menjadi mukmin,
4.      berbuat baiklah kepada tetanggamu maka kamu menjadi muslim
5.      dan sedikitkan tertawa, karena banyak tertawa itu mematikan hati.

SALING MENCINTAI KARENA ALLAH.
CINTA merupakan perasaan yang lahir dari naluri yang ada dalam diri manusia. Kita tidak bisa menolak keberadaannya. Sebab perasaan cinta dan naluri tersebut sesuatu yang sudah melekat pada kita. Sebagaimana halnya Allah telah memberikan khasiat api yang mampu membakar, maka Allah juga telah menyematkan khasiat pada manusia, salah satunya yakni mampu mencintai. Hanya saja, yang perlu jadi pembahasan selanjutnya adalah mengenai apa alasan yang seharusnya menjadi penyebab manusia memiliki perasaan cinta? Siapa saja yang harus dicintai? Bagaimana seharusnya memperlakukan orang yang dicinta?

Tanpa adanya bimbingan wahyu, manusia akan mencintai apa saja berdasarkan keinginan dan hawa nafsunya. Jika kita mencoba mengindra fakta di sekelililng kita, banyak di antara mereka yang saling mencintai dikarenakan faktor fisik, misalkan mencintai karena ketampanan atau kecantikannya. Ada juga yang saling mencintai karena faktor materi seperti kekayaan atau ketenaran. Selain itu, ada juga yang saling mencintai dikarenakan sedang memiliki kepentingan yang sama, di mana kepentingan tersebut mampu melahirkan manfaat bagi mereka.

Perasaan berdasarkan alasan seperti yang dicontohkan di atas, merupakan perasaan cinta yang semu. Ketika perasaan tersebut muncul, maka seseorang akan bingung bagaimana memperlakukan perasaan tersebut. Ia tidak memiliki panduan untuk mengatur perasaannya, sehingga ia pun menciptakan aturan sendiri dengan kebodohan dan keterbatasannya sebagai manusia. Tentu hal ini hanya akan melahirkan keburukan dan kesengsaraan baginya.

Islam, sebagai agama yang sempurna ajarannya, telah mengatur tentang perasaan cinta ini. Terkait alasan yang seharusnya jadi penyebab seseorang saling mencintai, Allah SWT mewajibkan hamba-Nya agar saling mencintai karena Allah. Arti cinta karena Allah adalah mencintai hamba Allah karena keimanannya kepada Allah dan ketaatan kepada-Nya.
Rasulullah saw bersabda: Tidak beriman salah seorang dari kamu sekalian, sehingga ia mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya.
 
Imam as-Suhaymi dalam menafsiri hadits di atas mengatakan bahwa iman seseorang tidak sempurna sehingga ia mencintai untuk setiap saudara, meskipun kafir, tanpa mengistimewakan kecintaannya kepada seseorang melebihi orang lain, apa yang dicintai untuk dirinya sendiri, seperti ketaatan dan kesenangan-kesenangan dunia yang mubah. Artinya, hendaklah engkau berbuat apa saja untuk seseorang seperti engkau menyukai seseorang berbuat apa saja untukmu. Engkau memperlakukan ia dengan perlakuan yang engkau sukai agar ia memperlakukan engkau. Engkau menasihati dia seperti engkau menasihati dirimu sendiri. Engkau menghukum ia dengan hukum yang engkau sukai agar ia menghukum engkau. Engkau tidak membalas perbuatannya yang menyakitimu. Engkau tidak mengurangi kehormatannya. Jika engkau melihat ia melakukan kebaikan, hendaklah kebaikannya engkau tampakkan. Namun jika engkau melihat ia melakukan hal jelek, engkau tutupi. 

Rasulullah saw bersabda: Para penyayang akan disayangi oleh Dzat Yang Maha Penyayang. Sayangilah siapa saja yang ada di bumi, niscaya siapa saja yang ada di langit akan menyayangi kamu.
Rasulullah SAW bersabda, “Sesunguhnya kelak di hari kiamat Allah akan berfirman, ‘Di mana orang-orang yang saling mencintai karena keagungan-Ku? Pada hari ini Aku akan memberikan naungan kepadanya dalam naungan-Ku disaat tidak ada naungan kecuali naungan-Ku,”(HR. Muslim).

Dalam hadits lain, Rasullulah SAW bersabda,“Siapa pun tidak akan merasakan manisnya iman, hingga ia mencintai seseorang hanya karena Allah semata,” (HR. Bukhari).

Alasan tersebut sangat jelas menunjukkan pada kita siapa saja yang layak untuk dicintai. Selain itu, perasaan yang berlandaskan kecintaan kepada Allah bukanlah perasaan semu. Keberadannya sungguh memberi keuntungan yang besar bagi manusia, salah satunya bahwa ia akan mendapat naungan Allah di hari kiamat.

Ciri Seorang Muslim Tidak Mengganggu Orang Lain

            “ Abdullah bin Umar berkata, bahwa Nabi SAW, telah  bersabda: seorang muslim adalah orang yang menyebabkan orang-orang islam (yang lain) selamat dari lisan dan tangannya dan orang yang hijrah adalah orang yang hijrah dari apa yang telah dilarang Allah SWT.” ( H.R. Bukhari, Abu Dawud dan Nassa’i)

            Hadis diatas mengandung dua pokok bahasan, yakni tentang hakikat seorang muslim, dalam membina hubungan dengan sesama muslim dalam kehidupan sehari-hari, dan juga menjelaskan hakikat hijrah dalam pandangan islam.

            Seorang muslim yang hakiki harus memiliki tingkah laku yang sesuai dengan ketentuan islam. Tidaklah dikatakan sempurnah keislaman seseorang jika ia hanya memperhatikan ibadah ritual yang berhubungan dengan Allah SWT, tetapi melupakan atau meremehkan hubungannya dengan  manusia. Dalam Al-quran banyak ayat yang mengatur tentang hal ini sehingga tercipta keharmonisan hidup, tidak terjadi pertentangan atau bentrokan antar sesama muslim.

            Hadis diatas menyatakan bahwa seorang muslim adalah orang yang mampu menjaga dirinya sehingga orang lain selamat dari kezoliman atau perbuatan  jelek tangan dan mulutnya. Dengan kata lain, ia harus berusaha agar saudaranya sesama muslim tidak merasa disakiti.

            Adapun menyakiti orang lain dengan ucapan atau lisannya, misalnya dengan fitnah, cacian, umpatan, hinaan dan lain-lain. Perasaan sakit yang disebabkan oleh ucapan lebih sulit dihilangkan dari pada sakit akibat pukulan fisik. Tidak jarang terjadinya perpecahan, perkelahian, bahkan peperangan diberbagai daerah akibat tidak dapat mengatur lisan sehingga menyebabkan orang lain sakit hati. Salah satu pepatah arab menyatakan:

سَلاَ مَةُ الْإِنْسَانِ فِى حِفْظِ الْلِّسَانِ
Artinya:
            “ Keselamatan seseorang adalah dengan menjaga lisannya.”

            Dengan demikian, seseorang harus berusaha untuk tidak menyakiti saudaranya dengan cara apapun dan kapanpun. Oleh karena itu setiap muslim harus berhati-hati dalam bertingkah laku. Jangan asal berbicara bila tidak ada manfaatnya. Jangan berbuat sesuatu bila hanya menyebabkan penderitaan orang lain. Karena segalah tindakan dan perbuatan akan dimintai pertanggung jawabannya.

            Disamping itu jika seseorang berbuat dosa kepada sesama manusia Allah SWT, tidak akan mengampuni dosanya sebelum orang yang pernah disakitinya itu memaafkannya.

            Dalam hadis diatas juga diterangkan tentang hijrah, yaitu bahwa hijrah yang sebenarnya bukanlah berpindah tempat sebagaimana banyak dipahami orang, melainkan berpindah dari kejelekan menuju kebaikan.

            Memang sangat berat bagi orang yang terbiasa melakukan sesuatu yang dilarang agama atau  terbiasa melakukan sesuatu yang telah diperintahkan agama untuk mengubah perilakunya, padahal dia mengakui bahwa dirinya beriman. Dalam hati kecilnya, ia mengakui bahwa perbuatan yang selama ini dilakukannya adalah salah. Akan tetapi, kalau didasari niat yang betul, semuanya akan mudah. Ia akan berpindah dari jalan yang dimurkahi Allah SWT menuju jalan yang diridhoi-Nya.

Hijrah juga dapat diartikan sebagai perjalanan panjang untuk meraih masa depan yang lebih cerah. Untuk menempuh suatu perjalanan diperlukan bekal yang cukup. Bekal tersebut dalam islam adalah akidah yang kuat. Orang yang kuat imannya tidak akan  mudah tergelincir pada perbuatan yang menyimpang perintahnya.

C.    Realisasi Iman Dalam Menghadapi Tamu

            “ Abdu Hurairah  r.a. ia berkata bahwa Rasulullah SAW, bersabda “ Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, dia harus memuliakan tamunya; barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, dia harus berbuat baik kepada tetangganya; dan barang siapa kepad Allah dan hari akhir, ia harus berkata baik atau diam.

            Dalam hadis diatas, ada tiga perkara yang didasarkan atas keimanan kepada Allah dan hari akhir, yakni memuliakan tamu, memuliakan tetangga, dan berbicara baik atau diam. Adapun alasan penyebutan dua keimanan, yakni iman kepada Allah dan hari akhir karena iman kepada Allah merupakan permulaan dari segala sesuatu dan ditangan-Nya lah segala kebaikan dan kejelekan sedangkan hari akhir merupakan akhir kehidupan dunia, akhir kehidupan dunia, yang didalamnya mencakup hari kebangkitan, mahsyar, hisab, dan syurga-neraka, dan banyak sekali yang harus diimani pada har akhir tersebut.

            Namun dengan demikian, tidak berarti bahwa orang yang tidak memuliakan tamu dan tetangga, serta tidak berkata yang baik dianggap tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Maksud iman kepada Allah dan Rasul-Nya. Maksud iman kepada Allah dan hari akhir adalah sebagai penyempurna iman. Ketiga hal diatas sangat penting dalam kehidupan sosial.

1.      Memuliakan Tamu
Maksud memuliakan tamu dalam hadis diatas mencakup perseorangan maupun kelompok. Dalam syari’at islam, batas memuliakan tamu adalah tiga hari tiga malam, sedangkan selebihnya adalah sedekah.

Hal itu didasarkan pada hadis Rasulullah SAW: “ Abu syuraih (khuwailid) bin Amru Al-Khuza’ir r.a, berkata Saya telah  mendengar Rasulullah SAW. Bersabda, ‘ Siapa yang percaya kepada Allah dan hari kemudian, ia harus menghormati tamunya pada bagian istimewaanya. Sahabat bertanya, “ Apakah yang dimaksud keistimewaanya itu? Jawab Nabi, horSahabat bertanya, “ Apakah yang dimaksud keistimewaanya itu? Jawab Nabi, hormat tamu itu sampai tiga harmat tamu itu sampai tiga harmat tamu itu sampai tiga hari, sedangkan selebihnya adalah shadaqah.” ( Mutafaq Alaih).

            Diantara hal-hal yang harus diperhatikan dalam memuliakan tamu adalah memberikan sambutan yang hangat. Hal ini akan lebih baik dari pada disambut hidangan yang mahal-mahal, tetapi dengan muka masam dan kecut. Namun dalam menjamu tamunya ini haruslah sesuai degan kemampuan.

            Seandainya kedatangan tamu yang bermaksud meminta tolong tentang suatu masalah atau kesulitan, sebagai orang musim kita harus membeinya bantuan semampunya. Apabila tamunya tidak mengatakan suatu kebutuhan, tetapi kita mengetahui bahwa tamu tersebut dalamkeadaan fakir, sdangkan kita mampu, berilah bantuan apalagi kalau tamu tersebut masih kerabat.

            Dan sebaliknya pihak tamupun harus mengerti ketentuan bertamu dalam islam.

2.      Memuliakan Tetangga
Tetangga adalah bagaikan saudara saja dibanding dengan saudara yang jauh tempatnya. Ada kematian, kebakaran, sakit, dan bencana apapun, tetanggalah yang terlebih dahulu mengetahui dan bisa menolong.

Maksud tetangga disini adalah umum, baik yang dekat maupun yang jauh, muslim, kafir, ahli ibadah, orang fasik, musuh dan lain-lain, yang bertempat tinggal dilingkungan rumah kita. Namun demikian, dalam memuliakan mereka, terdapat tingkatan-tingkatan antara satu tetangga dengan yang lainya. Seorang muslim dan ahli ibadah yang dapat dipercaya dan dekat rumahnya lebih utama untuk dihormati dari pada parkat rumahnya lebih utama untuk dihormati dari pada para tea tetangga lainya. Berbuat baik kepada tetangga dapat dilakukan dengan berbagai cara, misalnya memberikan pertolongan, memberikan pinjaman, menengoknya jika sakit, melayat jika ada keluarganya yang meninggal, dan lain-lain.

Selain itu, diharuskan pula menjaga mereka dari ancaman gangguan dan bahaya. Dalam hadis yang lain yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Siti Aisyah disebutkan, “ Malaikat jibril senantiasa memberi wasiat kepadaku ( untuk menjaga) tetangga sehingga aku menyangka bahwa dia ( malaikat jibril) akan mewarisinya ( tetangga).

            Perintah untuk berbuat baik terhadap tetangga juga terdapat dalam  Al-Qur’an, sebagaimana firman-Nya:



 “ Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu bapak, karib, kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman-teman sejawat, ibn sabil, dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.” ( Q.S. An- Nisa: 36).

3.      Berbicara Baik atau Diam
Sesungguhnya ucapan seseorang menentukan kebahagiaan dan kesengsaraan dirinya. Orang yang selalu menggunakan lidahnya untuk berbicara baik, memerintah kepada kebaikan dan melarang kepada kejelekan, membaca Al-Qur’an, membaca ilmu pengetahuan, dan lain-lain, ia akan mendapatkan kebaikan dan dirinya pun terjaga dari kejelekan. Sebaliknya orang yang apabila menggunakan lidahnya untuk berkata-kata jelek atau menyakiti orang lain, ia akan mendapat dosa dan tidak mustahil orang lain pun akan berbuat demikian kepadanya. Maka perintah Rasulullah untuk berkata baik atau diam merupakan suatu pilihan yang akan mendatangkan kebaikan.

Memang sangat sulit untuk mengatur lidahagar selalu berkata baik atau diam. Akan tetapi, kalau berusaha untuk membiasakannya, tidaklah sulit apalagi kalau sekedar diam. Bagaimanapun juga, lebih baik diam dari pada berbicara yang tiada berguna dan tidak karuan“ Dari Anas. ia berkata, telah bersabda Rasulullah SAW, “ Diam itu suatu kebijaksanaan, tetapi sedikit orang yang berbuatnya.”

            Orang yang tidak banyak bicara, kecuali hal-hal baik, lebih banyak terhindar dari dosa dan kejelekan, dari pada orang yang banyak berbicara tanpa membedakan hal yang pantas dibicarakan dan yang tidak pantas dibicarakan.





بَارَكَ اللهُ لِي وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ. وَنَفَعَنِي وَاِيِّاكُمْ بما فيه مِنَ الآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. وَتَقَبَّلْ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلاوَتَهُ اِنّهُ هُوَ السَّمِيْعُ اْلعَلِيْمُ. فَاسْتَغْفِرُوْا اِنَّهُ هُوَاْلغَفُوْرُ الرَّحِيْم


KHUTBAH KEDUA

اَلْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِيْنَ، وَلَا عُدْوَانَ إِلَّا عَلَى الظَّالِمِيْنَ.
 أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاّ اللهُ ، وَأَشْهَدُ أَنّ مُحَمّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الصَّادِقُ الْوَعْدُ الْأَمِيْنُ.
اَللهُمّ صَلّ وَسَلّمْ عَلى مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وِأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن.
 عِبَادَ اللهِ ، أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ وَطَاعَتِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ.
قَالَ اللهُ تَعَالَى فِي الْقُرْآنِ الْكَرِيْم
إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيماً
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ،وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.
اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ، وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ. اَللَّهُمَّ أَرِنَا الْحَقَّ حَقًّا وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ، وَأَرِنَا الْبَاطِلَ باَطِلاً وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ. رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا. سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ، وَسَلاَمٌ عَلَى الْمُرْسَلِيْنَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.
عِبَادَ اللهِ، إِنَّ اللهَ يَأْمُرُكُمْ بِالْعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيتَآئِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَآءِ وَالْمُنكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ