Rabu, 09 Oktober 2013

82. Meningkatkan Nilai Ibadah Seorang Muslim [1]



Khutbah Jum'at
Drs. St. Mukhlis Denros
Di Masjid Al Munawwarah
Jorong Sungai Lasi Nagari Pianggu
Kecamatan IX Koto Sungai Lasi
Kabupaten Solok Sumatera Barat
Tanggal 12 April 2013/01 Jumadil Akhir 1434.H


إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهْ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنِ اهْتَدَى بِهُدَاهُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ.
يَا أَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُمْ مُّسْلِمُوْنَ.. أَمَّابَعْدُ؛
قَالَ اللهُ تَعَالَى فِي الْقُرْآنِ الْكَرِيْمِ
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَقُوْلُوْا قَوْلاً سَدِيْدًا. يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيْمًا. أَمَّابَعْدُ؛
Terkadang seorang muslim dihadapkan pada sekian banyak amalan yang ingin ia kerjakan semuanya. Namun kadang-kadang kesempatan, waktu dan fisik tidak memungkinkannya untuk menuntaskan segala amalan sholeh yang ia inginkan. Apalagi bagi mereka yang sudah berkeluarga, mempunyai istri (atau suami) dan anak-anak.

Dalam kondisi demikian, dipandang perlu agar seorang muslim mengetahui beberapa kaedah dalam beramal sholeh untuk memudahkan bagi dirinya dalam memilih amalan yang lebih baik dan berkualitas, lebih dicintai oleh Allah dan mengundang pahala yang lebih besar dibandingkan amalan lainnya. Urgensi aspek ini:

1.Perhatian Generasi Salaf Terhadap Masalah Ini.
generasi Salaf. Hasrat mereka untuk mendalami permasalahan ini sangat besar.Para sahabat menjadi teladan dengan melontarkan banyak pertanyaan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Generasi tabi'in dan para tokoh ulama Islam pun memberi porsi perhatian yang besar.
2. Ekonomis Dalam Beramal
Seorang muslim yang memahami ini, akan meraih kebaikan besar dalam masa yang singkat dan modal yang minim, yang dikerjakan oleh orang lain dengan waktu panjang dan tenaga besar. Hal ini penting sekali diketahui, terutama pada akhir-akhir ini yang begitu banyak kesibukan dan halangan untuk bisa beribadah dengan frekuensi yang banyak.

3. Penyimpangan Yang Dilakukan Sebagian Firqah Dalam Aspek Ini.Sebagian firqah menyimpang dari garis sunnah lantaran kegandrungan mereka kepada bid'ah daripada sunnah Nabi. Amalan sunnah lebih diutamakan daripada kewajiban. Lebih berbahaya lagi ketika amalan bid'ah lebih disukai daripada ajaran Islam.

4. Bahaya Jerat Syaithan Terhadap Sebagian Ahli Ibadah.
Sebagian ahli ibadah tertipu oleh bisikan syaithan dengan mengamalkan amalan yang kualitasnya di bawah.
Seorang hamba Allah yang telah rela mengangkat saksi, ”Tidak ada Ilah selain dari Allah dan Muhammad utusan Allah”, maka dipundaknya terpikul kewajiban untuk mengabdi atauberibadah kepada Allah, baik secara umum maupun secara khusus, Allah berfirman,

”Tidak Kami ciptakan jin dan manusia kecuali beribadah kepada-Ku’’ [Adz Dzariyat;56].
Ada beberapa hal yang berkaitan dengan ibadah yaitu;

a. Ibadah dalam arti khusus seperti shalat, zakat, puasa dan haji, sedangkan secara umum ialah seluruh aktivitas seseorang hamba yang dilakukan tidak bertentangan dengan aturan Allah.

b. Ibnu Taimiyah mengatakan, ibadah ialah semua kebaikan yang disengangi Allah.

c. Dalam pengabdian kepada Allah banyak manusia yang memperoleh hanya haus dan laparnya saja dikala puasa, capeknya saja dari rukuk dan sujud, ibadahnya sia-sia karena tidak disandarkan kepada tujuan yang ikhlas.

d. Ulama Salaf berpendapat, kerapkali amal yang kecil menjadi besar karena niatnya, dan sering pula amal yang besar menjadi kecil karena salah niatnya.

Sebagai hamba punya kewajiban pengabdian kepada Khaliqnya sebagai penguasa, raja dan pencipta. Hak mutlak Allah ialah tempat pengabdian bagi seorang hamba, bukan berarti bila manusia tidak menyembah kepada-Nya lalu wibawa dan kekuasaan Allah luntur atau hilang.

Dalam Hadits Qudsi dinyatakan, ”Andai seluruh isi langit dan bumi serta apa yang ada disekitarnya tunduk dan patuhmerendah kepada Allah, tidaklah akan meninggikan nama Allah”, demikian pula sebaliknya, ”Walaupun seluruh isi langit dan bumi kafir, ingkar dan durhaka kepada Allah, maka tidak akan menghilangkan ketinggian Allah”.

Keimanan seorang hamba hanya untuk keselamatannya, demikian pula keingkarannya akan tetap kembali kepadanya, namun Allah mengeluarkan ultimatum, bila manusia tidak beriman dan menyembah kepadanya;

”Adapun orang-orang yang beriman dan berbuat amal saleh, Maka Allah akan menyempurnakan pahala mereka dan menambah untuk mereka sebagian dari karunia-Nya. Adapun orang-orang yang enggan dan menyombongkan diri, Maka Allah akan menyiksa mereka dengan siksaan yang pedih, dan mereka tidak akan memperoleh bagi diri mereka, pelindung dan penolong selain dari pada Allah. [An Nisa’ ;173].
Berikut ini ada enam faktor yang bisa mempengaruhi peningkatan kualitas amalan ibadah, pada kesempatan ini kita akan membahas tiga dari enam factor itu yaitu;

1.TINGKATKAN KEIKHLASAN DAN PERBAIKI NIAT
Ikhlas dalam amalan merupakan tonggak asasi dalam setiap amalan sholeh.Disamping itu, juga tingkatkan unsur mutaba'ah (mengikuti) Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam beribadah.Dua hal ini merupakan syarat diterimanya amalan seseorang. Dalilnya, Allah berfirman:

"Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya, hendaknya ia mengerjakan amalan yang sholeh dan janganlah ia mempersekutukan seseorang pun dalam beribadah kepada Rabbnya". [Al Kahfi : 110.]

Ibnu Katsir berkata: ‘(Yaitu orang yang ) mengharapkan pahala, dan ganjaran dariNya, [فَلْيَعْمَلْعَمَلاًصَالِحًا / hendaknya ia mengerjakan amalan yang sholeh ] yaitu amalan yang bertepatan dengan petunjuk syariat, [ وَلاَيُشْرِكُبِعِبَادَةِرَبِّهِأَحَدًا / dan janganlah ia mempersekutukan seseorang pun dalam beribadah kepada Rabbnya ] yaitu amalan yang ditujukan untuk mendapatkan wajah Allah semata, tidak ada sekutu bagiNya. Dua hal ini adalah dua syarat diterimanya amalan.Mesti murni karena Allah, lagi cocok dengan aturan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam".

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Dan Allah melipatgandakan (pahala) bagi yang Dia kehendaki" [. Al Baqarah : 261]Ibnu Katsir menjelaskan : "Berdasarkan keikhlasannya dalam beramal".

Syaikh As Sa'di berkata: "Itu bergantung pada kekuatan iman dan kesempurnaan ikhlas yang terdapat pada orang yang berinfak"
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Jika salah seorang dari kalian telah memperindah Islamnya, maka
setiap kebaikan yang diamalkannya akan dicatat baginya dengan sepuluh kali lipat sampai tujuh ratus lipat. Dan setiap kejelekan yang ia kerjakan akan dicatat baginya satu kejelekan semisalnya". []. Shahih Al Bukhari dan Shahih Muslim]

Ibnu Rajab berkata tentang hadits di atas : "Pelipatgandaan kebaikan dengan sepuluh kali lipat pasti terjadi. Sedangkan tambahan yang lebih dari itu tergantung pada kebaikan nilai Islam seseorang, dan keikhlasan niatnya, serta urgensi dan keutamaan amalan tersebut"

Sebagai pelengkap dalam menetapkan naiknya tingkatan amalan yang dibarengi kekuatan ikhlas, adanya beberapa nash yang menyatakan keutamaan amalan yang dilakukan secara tersembunyi dibandingkan amalan yang dilakukan di hadapan khalayak. Allah Subhanhu wa Ta'ala berfirman:

"Jika kalian memperlihatkan sedekah maka itu baik. Dan jika kalian menyembunyikan sedekah dan memberikannya kepada orang-orang fakir, niscaya lebih baik …" [Al Baqarah: 271]

Ibnu Katsir berkata: "Dalam ayat ini terkandung petunjuk bahwa menyembunyikan sedekah lebih baik daripada memperlihatkannya. Sebab lebih jauh dari noda riya`.Kecuali bila dengan memperlihatkan saat mengeluarkan sedekah ada unsur maslahat yang pasti"[9].

Ibnul Qayyim menjelaskan rahasia mengapa sedekah yang dilakukan dengan sembunyi lebih baik dengan berkata: "Adapun memberikannya kepada orang-orang fakir, jika dilakukan dengan cara tersembunyi mengandung beberapa manfaat, menutupi jati dirinya (pemberi sedekah) , dan tidak membuat malu si penerima di hadapan orang banyak, tidak menempatkan dirinya sebagai orang yang sedang direndahkan kehormatannya, dan supaya orang tidak melihat bahwa tangannya sufla, juga agar orang tidak berkomentar dirinya (sang penerima) tidak ada harganya sama sekali sehingga mereka enggan untuk berinteraksi dan melakukan tukar-menukar dengannya. Ini adalah manfaat tambahan selain berbuat baik kepadanya dengan memberi sedekah, di samping penjagaan aspek ikhlas.


2. TINGKATKAN PERHATIAN PADA ASPEK MUTABA'AH KEPADA NABI SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM DALAM BERIBADAH.

Maksud dari mutaba'ah dalam beramal adalah "menjalankan perintah Nabi dalam suatu amalan dan melaksanakannya sesuai dengan aturan syariat yang dahulu dilakukan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ".

Sementara Syaikhul Islam menjelaskannya dengan : "Hendaknya dikerjakan persis dengan yang dilakukan Nabi sesuai dengan aturan pelaksanaannya"

Jadi mutaba'ah kepada Nabi harus memenuhi dua unsur
a. Kesesuaian dengan Nabi dalam pelaksanaan, persis dengan tata cata beliau, Rasulullah bersabda “Shallu kama ra’ai tumuni ushalli, shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku shalat”.
-semua ibadah harus mengikuti contoh dari Rasulullah, bila itu maka hal itu adalah bid’ah.

b. Kesesuaian dalam niat, ditujukan untuk beribadah; niat ibadah
tidak boleh diiringi dengan niat lainnya

Mutaba’ah kepada Nabi dalam keseluruhan ibadah, tidak hanya menyibukkan dengan salah satu jenis ibadah saja dengan menelantarkan ibadah lainnya.Tapi ‘namanya selalu tercantum’ dalam setiap ibadah. Dengan kata lain, berusaha mendekatkan diri kepada Allah dengan seluruh cabang iman qalbiyyah, amaliyyah maupun qauliyyah

Disebutkan dalam hadits keutamaan orang-orang yang mendekatkan diri kepada Allah dengan berbagai amaliah, mereka akan dipanggil dari berbagai pintu syurga. Setelah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menceritakan orang-orang yang dipanggil dari pintu yang sesuai dengan ibadah yang ia tekuni, Abu Bakar Radhiyallahu 'anhu bertanya:
"Apakah ada seseorang yang dipanggil dari seluruh pintu

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab:
"Ya, dan aku berharap engkau termasuk mereka, wahai Abu Bakar.

Mutaba’ah kepada Nabi dalam aspek kontinyuitas amalan.
Mutaba’ah kepada Nabi dengan mengerjakan amalan tanpa unsur memberatkan diri (takalluf).

Oleh karena itu, beliau melarang shaumud dahri (puasa setahun penuh) atau meninggalkan perkawinan, makanan, tidur dengan dalih memfokuskan diri untuk beribadah kepada Allah. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Sesungguhnya agama ini mudah. Tidak ada orang yang bersikap keras dengannya, kecuali akan terkalahkan.."

Mutaba’ah kepada Nabi dengan melakukan keseimbangan (balancing) terhadap hak-hak yang ada, tidak menyisihkan salah satu hak demi pemenuhan hak lainnya.Tapi memberikan hak kepada para pemiliknya. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Maka, sesungguhnya bagi jasadnya ada hak atasmu, bagi matamu ada hak atasmu dan bagi istrimu ada hak atasmu dan bagi tamumu ada hak atasmu"

3. UTAMAKAN & BERIKAN PERHATIAN EKSTRA TERHADAP AMALAN YANG WAJIB

Amalan yang wajib lebih utama daripada amalan yang sunnah. Demikian juga, memperhatikan ibadah yang wajib lebih dicintai oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala daripada ibadah yang sunnah.

Abu Hurairah meriwayatkan, ia berkata: Rasulullah Sh bersabda: "Sesungguhnya Allah berfirman: ‘Barangsiapa yang memusuhi waliKu, maka Aku telah mengobarkan peperangan dengannya. Dan tidaklah ada seorang hambaKu yang mendekatkan dirinya kepada-Ku, dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada amalan yang Aku wajibkan kepadanya…'

Ibnu Hajar berkata: "Dapat disimpulkan dari hadits tersebut, bahwa melaksanakan amalan yang wajib merupakan tindakan yang paling dicintai oleh Allah"

Abu Bakar pernah berwasiat kepada Umar dengan mengatakan:
"Sesungguhnya Allah tidak akan menerima ibadah sunnah kecuali apabila amalan ibadah yang wajib telah ditunaikan".

Ibnu Taimiyah menegaskan pula: "Oleh karena itu, wajib bertaqarrub kepada Allah dengan amalan-amalan yang wajib sebelum menjalankan amalan yang sunnah. Mendekatkan diri
kepada Allah dengan amalan yang sunnah terhitung sebagai ibadah jika amalan yang wajib sudah dikerjakan"[18].

Al Hafizh Ibnu Hajar menukil dari sebagian ulama besar zaman dahulu, mereka menetapkan :
"Barangsiapa disibukkan dengan perkara wajib sehingga melupakan perkara sunnah, maka ia termaafkan. Barangsiapa disibukkan dengan perkara sunnah sehingga perkara wajib terbengkalai, maka ia adalah orang yang tertipu"


بَارَكَاللهُلِيْوَلَكُمْفِيالْقُرْآنِالْعَظِيْمِ،وَنَفَعَنِيْوَإِيَّاكُمْبِمَافِيْهِمِنَاْلآيَاتِوَالذِّكْرِالْحَكِيْمِ،وَتَقَبَّلَاللهُمِنِّيْوَمِنْكُمْتِلاَوَتَهُ،إِنَّهُهُوَالسَّمِيْعُالْعَلِيْم

1. Meningkatkan Nilai Ibadah Seorang Muslim, Almanhaj.or.id Selasa, 26 Oktober 2010 16:33:26 WIB]
2. Kumpulan Ceramah Praktis, Mukhlis Denros, 2009
3. Berbagai sumber




Tidak ada komentar:

Posting Komentar