Senin, 19 Maret 2018

234. Jangan menuduh wanita baik berzina



Khutbah Jum’at
Drs. St. Mukhlis Denros
Di Masjid Baitus Syakur
Sei Jodoh
Kecamatan Batu Ampar
Kota Batam Kepuluan Riau
7 Jumadil Akhir 1439.H / 23 Februari  2018.M


JANGAN MENUDUH WANITA BAIK-BAIK BERZINA

إِنّ الْحَمْدَ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنّ مُحَمّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ
 اَللهُمّ صَلّ وَسَلّمْ عَلى مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وِأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن
فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، اِتَّقُوا اللهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ، وَاتَّقُوا اللهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ
قَالَ اللهُ تَعَالَى فِي الْقُرْآنِ الْكَرِيْم
يَاأَيّهَا الّذَيْنَ آمَنُوْا اتّقُوا اللهَ حَقّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنّ إِلاّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ
يَاأَيّهَا النَاسُ اتّقُوْا رَبّكُمُ الّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَنِسَاءً وَاتّقُوا اللهَ الَذِي تَسَاءَلُوْنَ بِهِ وَاْلأَرْحَام َ إِنّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا

يَاأَيّهَا الّذِيْنَ آمَنُوْا اتّقُوا اللهَ وَقُوْلُوْا قَوْلاً سَدِيْدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْلَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيْمًا،

أَمّا بَعْدُ فَأِنّ أَصْدَقَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ، وَخَيْرَ الْهَدْىِ هَدْىُ مُحَمّدٍ صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّمَ، وَشَرّ اْلأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةً، وَكُلّ ضَلاَلَةِ فِي النّارِ.

Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, Abu Daud, Ibnu Majah, dan Imam Ahmad. Rasulullah Shalallaahu alaihi wasallam telah memperingatkan kita untuk meninggalkan tujuh hal yang menghancurkan.
اِجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوْبِقَاتِ. قِيْلَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ وَمَا هُنَّ؟ قَالَ: الشِّرْكُ بِاللهِ وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِيْ حَرَّمَ اللهُ إِلاَّ بِالْحَقِّ وَالسِّحْرُ وَأَكْلُ الرِّبَا وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيْمِ وَالتَّوَلِّيْ يَوْمَ الزَّحْفِ وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْغَافِلاَتِ الْمُؤْمِنَاتِ.
 “Jauhilah tujuh hal yang menghancurkan (membina-sakan)”. Bertanya para sahabat, apa itu yang Rasulullah?, bersabda beliau: “Syirik (menyekutukan Allah), membunuh jiwa yang Allah haramkan, kecuali yang dibenarkan syari’at, sihir (tenung dan santet), memakan riba, memakan (menyelewengkan) harta anak yatim, lari dari pertempuran (karena takut), menuduh wanita baik-baik berzina”. (Ash-Shahihain).

Dari hadits diatas ada tujuh hal yang harus dihindari;
1.      Syirik (menyekutukan Allah),
2.      Membunuh jiwa yang Allah haramkan, kecuali yang dibenarkan syari’at
3.      Sihir (tenung dan santet),
4.      Memakan riba,
5.      Memakan (menyelewengkan) harta anak yatim,
6.      Lari dari pertempuran (karena takut),
7.      Menuduh wanita baik-baik berzina”.

JANGAN MENUDUH WANITA BAIK-BAIK BERZINA


"Dan orang-orang yg menuduh wanita baik-baik (melakukan zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saks, maka deralah mereka (yg menuduh itu) dg delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yg fasik.
Kecuali orang-orang yg bertaubat sesudah itu dan memperbaiki dirinya, maka sesungguhnya, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang".-QS, AN-Nur 4-5.
ini adalah peringatan bagi kita agar berhati-hati dari mengatakan (menuduh) orang yg baik (melakukan zina) tanpa bukti (empat orang saksi) Alloh Subhanahu Wata'ala menetapkan hukuman dera 80 kali bahkan Alloh melarang kita menerima kesaksian / mempercayai mereka (orang yg menuduh itu). sebab Alloh menggolongkan mereka dalam golongan orang-orang fasik (rusak agamanya). kecuali setelah mereka bertaubat.
Sebuah kisah terjadi di zaman Imam Malik Rahimahullah,
 seorang wanita yg berprofesi sebagai tukang memandikan jenazah, sedang memandikan jenazah seorang wanita yg baru meninggal dunia, disaat menyiram (membasuh) kemaluan jenazah tersebut, wanita (yg memandikan mayat) itu berucap, berapa banyak farji (kemaluan) ini telah melakukan zina.. maka tiba-tiba tangan wanita itu lekat pada tubuh mayat, dan tidak dapat dilepaskan.
Maka bermusyawarahlah para ulama untuk menangani hal ini.  sebagian mereka berpendapat, potong saja tangan wanita yg memandikan  jenazah tersebut karna, kehormatan  mayat sama seperti kehormatan orang yg masih hidup.dan sebagian lagi berpendapat, potong saja sebagian jasad mayat sebab orang yg masih hidup lebih utama dari orang mati.
Dan seseorang dari mereka berkata, mengapa kita berselisih pendapat sedangkan Imam Malik ada di dekat kita. lantas mereka datang kepada Imam Malik dam mohon fatwa (nasehat) atas masalah itu.  datanglah Imam Malik ke tempat pemandian mayat dan bertanya pada wanita pemandi mayat itu dari balik hijab, "Apa yg telah kamu katakan..? wanita itu menjawab, aku berkata berapa bamyak kemaluan ini melakukan zina..!!Lantas Imam Malik berkata, "Hukumlah wanita ini dengan delapan puluh kali dera, sebagaimana firman Allah:
"Dan orang-orang yg menuduh wanita baik-baik (melakukan zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saks, maka deralah mereka (yg menuduh itu) dg delapan puluh kali dera".
Sehingga seseorang tidak boleh main tuduh sembarangan tanpa bukti, dan menuduh berzina seperti ini termasuk dosa besar yang membinasakan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا هُنَّ قَالَ الشِّرْكُ بِاللَّهِ وَالسِّحْرُ
وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَأَكْلُ الرِّبَا وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ
وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلَاتِ
Dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau bersabda, “Jauhilah tujuh (dosa) yang membinasakan!” Mereka (para sahabat) bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah itu?” Beliau menjawab, “Syirik kepada Allah; sihir; membunuh jiwa yang Allah haramkan kecuali dengan haq; memakan riba; memakan harta anak yatim; berpaling dari perang yang berkecamuk; menuduh zina terhadap wanita-wanita merdeka yang menjaga kehormatan, yang beriman, dan yang bersih dari zina.” (Hadits Shahih Riwayat Bukhari, no. 3456; Muslim, no. 2669)
Jadi menuduh zina sembarangan ada ancamannya di dunia dan akhirat
 Harus ada empat saksi laki-laki, tidak boleh kurang
Tidak boleh ada salah satu saksi wanita dari keempat saksi dan jika kurang  dari empat maka persaksian ditolak dan yang menuduh dan yang menjadi saksi dicambuk semuanya. Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullahu berkata,
و من قذف بالزنى محصنا أو شهد عليه به, ولم تكمل الشهادة: جلد ثمانين جلدة
“Barangsiapa  menuduh berzina seorang “muhshan” [yang menjaga kehormataannya] atau menjadi saksi, dan saksi belum lengkap [empat orang laki-laki] maka dicambuk 80 kali” [Manhajus Salikin Wa Taudihil Fiqh Fid Din hal. 240, cetakan pertama, Darul Wathan]
Syaikh Abdul Adzim Badawi Hafidzahullah menjelaskan,
“jika bersaksi tiga orang dan saksi keempat menyelisihi, maka tiga orang saksi tersebut dicambuk sebagaimana dicambuknya penuduh karena dalil di ayat yang mulia [An-Nur:4] dan hadits Qusamah bin Zuhair” [Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil Aziz hal. 435, cet. III, Dar Ibnu Rajab]
dari Qusamah bin Zuhair, ia berkata, “Ketika terjadi masalah antara Abi Bakrah dengan al-Mughirah -lalu menyebutkan kelanjutannya-.” (Perawi) berkata, “Kemudian ia memanggil para saksi. Kemudian Abu Bakrah, Syibl bin Ma’bad, dan Abu ‘Abdillah Nafi’ memberikan persaksian. Tatkala mereka bertiga telah bersaksi, ‘Umar berkata, ‘Urusannya membuat ‘Umar merasa berat.’ Tatkala Ziyad datang ia berkata, ‘Insya Allah, engkau tidak bersaksi melainkan dengan kebenaran.’ Ziyad berkata, ‘Adapun zina, aku tidak bersaksi atasnya, namun aku telah melihat perkara yang menjijikkan.’ ‘Umar berkata, ‘Allahu Akbar, laksanakan hukum hadd terhadap mereka dan cambuklah mereka!’ Perawi mengatakan, “Berkata Abu Bakrah setelah ia dipukul, ‘Aku bersaksi bahwa ia seorang pezina.’ Kemudian ‘Umar bermaksud mengulangi hukuman cambuk atasnya, maka ‘Ali Radhiyallahu ‘anhu melarangnya seraya berkata, ‘Jika engkau mencambuknya, maka rajamlah temanmu.’ Maka ‘Umar meninggalkannya dan beliau tidak mencambuknya lagi.” [Sanadnya shahih: Al-Irwaa’ VIII/29, al-Baihaqi VIII/334]
lihat, betapa sulitnya membuktikan, harus empat orang saksi laki-laki, jika melihat maka ia harus mencari empat orang dulu, kemudian mengajak mereka melihat. Inilah yang dirasakan oleh sahabat Hilal bin Umayyah yang melihat dengan nyata Istrinya berzina dengan lelaki lain, akan tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap meminta empat orang saksi laki-laki, beliau berkata kepada Hilal bin Umayyah,
البينة أو حد في ظهرك
Bukti/saksi  atau had cambuk kepunggungmu?”
Berkata Hilal bin Umayyah,“Wahai Rasulullah, apakah jika seseorang melihat istrinya bersama laki-laki lain kemudian harus mencari saksi?Akan tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap mengharuskan dan bersabda menegaskan,
البينة  و إلا حد في ظهرك
“Bukti/saksi  jika tidak had  cambuk kepunggungmu?” [HR. Bukhari no.4747]
Harus melihat “seperti ember masuk ke sumur”
Syaikh Abdul Adzim Badawi Hafidzahullah berkata,“Jika bersaksi empat orang muslim merdeka dan adil bahwasanya mereka melihat kemaluan laki-laki masuk pada kemaluan wanita seperti celak masuk ke tempat celak dan seperti ember masuk ke sumur, maka laki-laki dan wanita tersebut dirajam” [Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil Aziz hal. 435, cet. III, Dar Ibnu Rajab
Jadi jika sekedar melihat laki-laki dan wanita menempel badannya tanpa melihat seperti ember masuk ke sumur, maka tidak bisa menjadi bukti. Ini membuktikan lagi bahwa sulit menjatuhkan kehormatan seorang muslim.
Pelaku zina Harus sudah menikah/muhshan dan sudah bersetubuh, baru dirajam
Syaikh Abdullah Al-Jibrin Rahimahullahu berkata,“ Muhshan adalah seseorang yang telah menikah dengan pernikahan yang sah dan telah bersetubuh dengan istrinya, dan keduanya merdeka dan mukallaf/ baligh, jika telah menikah dan belum bersetubuh dengan istrinya maka tidak disebut muhshan. Begitu juga jika belum menikah [kemudian berhubungan badan/zina] maka tidak disebut muhshan, jika sudah menikah dan bersetubuh sebelum “taklif” yaitu akil baligh atau dalam keadaan kurang waras maka tidak disebut muhshan” [Ibhajul Mu’minin Syarh Manhajus Salikin jilid II hal 389, cet. I, Darul Wathan]
            Syaikh Abdullah Al Bassam rahimahullahu menjelaskan,“Muhshan adalah seseorang yang sudah berhubungan badan dalam pernikahan yang sah, sedangkan hukuman had bagi yang bukan muhshan adalah dicambuk 100 kali da diasingkan satu tahun” [Taisir Allam Syarh Umdatul Ahkam hal. 481, cet. II, Darul Kutubil ‘Ilmiyyah].
Jika mengaku berzina dan kemudian menarik pengakuan, tidak jadi dirajam
Jika ia mengaku berzina di depan pengadilan dan qhadi, kemudian ia tarik kembali pengakuannya, maka ia tidak jadi dirajam berdasarkan hadits Nu’aim bin Hazzal,
Dahulu Ma’iz bin Malik adalah seorang anak yatim dalam pengasuhan ayahku, lalu ia berzina dengan seorang budak wanita dari suatu kabilah (al-hadits), sampai perkataan perawi, “Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar ia dirajam, lalu ia dibawa ke-luar menuju padang pasir. Pada saat ia dirajam dan merasakan sakitnya lemparan batu, ia tidak sabar menahan sakit dan akhirnya berontak. Lalu ia lari keluar dan terkejar oleh ‘Abdullah bin Unais sementara para sahabatnya telah kepayahan. Kemudian ia mengambil wadzifu ba’iir [yaitu tulang siku dan kaki kuda atau unta] dan dilemparkan kepadanya sehingga membunuhnya. Kemudian ia mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menceritakan hal tersebut. Lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:“Kenapa tidak kalian biarkan ia pergi, bisa jadi ia bertaubat dan Allah menerima taubatnya.” [Shahih: Shahiih Sunan Abi Dawud no. 3716, Sunan Abi Dawud XII/99, no. 4397]
Kasusnya Harus sampai kepada pemerintah/pengadilan qhadi
Jika seseorang berzina dan yang mengetahui tidak melaporkan ke pemerintah/qhadi, maka ia tidak dirajam. Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih suka agar orang yang berzina, menyembunyikan aibnya dan bertaubat kepada Allah.
Dari Sulaiman bin Baridah dari ayahnya, ia menerangkan bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam didatangi seorang wanita dari suku Ghamid dari daerah Azd, lalu wanita itu berkata, “Wahai Rasulullah, sucikanlah aku.” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Celaka engkau! Pulanglah dan mintalah ampun kepada Allah serta bertaubatlah!” Kemudian wanita itu menjawab, “Aku melihat engkau menolak (pengakuan)ku sebagaimana engkau menolak (pengakuan) Ma’iz bin Malik.” Beliau bersabda, “Apa yang terjadi padamu?” Wanita itu menjawab, “Ini adalah ke-hamilan dari perzinaan.” Beliau meyakinkan, “Apakah engkau melakukannya?” Ia menjawab, “Benar.” Lalu beliau bersabda kepadanya, “Sampai engkau melahirkan apa yang engkau kandung.” (Perawi) berkata, “Lalu wanita itu ditanggung kesehari-annya oleh seorang laki-laki  dari Anshar sampai melahirkan.” (Perawi) melanjutkan, “Kemudian ia (laki-laki Anshar) men-datangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, ‘Perempuan Ghamidiyyah itu sudah melahirkan.’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Kalau begitu, kita tidak akan merajamnya dan membiarkan anaknya yang masih kecil tanpa ada yang menyusui.’ Lalu seorang laki-laki dari Anshar berkata, ‘Aku yang akan bertanggung jawab atas penyusuannya, wahai Nabi Allah.’” (Perawi) berkata, “Maka Nabi pun merajam wanita tersebut.” [Shahih: Mukhtashar Shahih Muslim no. 1039, Shahiih Muslim III/1321, no. 1695]
Rajam harus dilakukan oleh pemerintah yang sah
Jika seseorang terbukti berzina baik dengan empat saksi laki-laki atau mengaku atau ia hamil dan belum menikah, maka walaupun ia mendapat had rajam, hukuman harus dilakukan oleh pemerintah atau qhadi yang berwenang. Semisal di negara Indonesia misalnya, maka tidak boleh sekelompok orang atau masyarakat merajam seseorang tanpa perintah dari pemerintah. Sebagaimana rajam di zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka atas perintah beliau karena beliau adalah pemerintah yang sah.
Dari Abu Hurairah dan Zaid bin Khalid, keduanya menceritakan bahwa ada dua orang yang bertengkar menghadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan seseorang dari mereka berkata, “Putuskanlah perkara kami dengan Kitabullah.” Dan berkata yang satunya -dan ia yang lebih mengerti hukum-, “Benar wahai Rasulullah, putuskanlah perkara kami dengan Kitabullah dan izinkan aku berbicara.” Beliau bersabda, “Bicaralah!” Ia berkata, “Sesungguhnya anakku bekerja untuk orang ini, kemudian ia (anakku) berzina dengan isterinya. Lalu orang-orang memberitahu bahwa anakku harus dirajam. Kemudian aku menebusnya dengan seratus kambing dan seorang budak wanitaku. Setelah itu aku  bertanya kepada ahli ilmu dan mereka memberitahukan kepadaku bahwa anakku harus dicambuk seratus kali dan diasingkan selama satu tahun. Adapun rajam hanya bagi isteri orang ini.” Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Adapun aku -demi Rabb yang jiwaku berada pada-Nya, aku akan memutuskan perkara kalian dengan Kitabullah, adapun kambing dan budak wanitamu, maka akan dikembalikan kepadamu.” Kemudian beliau mencambuk anaknya seratus kali dan mengasingkannya setahun. Lalu menyuruh Unais al-Aslami untuk mendatangi isteri pihak yang bertengkar. Apabila ia mengaku, ia akan merajamnya. Maka wanita itu pun mengaku dan ia pun dirajam.” [HR. Bukhari XII/136, no. 6828, 27, Muslim III/1324, no. 1698, 97]
Jika dipaksa berzina, maka tidak dirajam
Orang yang diperkosa atau dipaksa juga tidak dirajam walaupun ia sudah menikah/muhshan Dari Abu ‘Abdirrahman as-Sulami, ia berkata, “Dihadapkan kepada ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu ‘anhu seorang wanita (yang dipaksa berzina). Pada suatu hari wanita tersebut sangat kehausan, lalu ia mendatangi seorang penggembala untuk meminta air. Namun penggembala itu enggan memberinya, kecuali jika ia mau berzina dengannya, maka wanita itu pun terpaksa melakukannya. Lalu orang-orang berunding untuk merajamnya. Kemudian ‘Ali Radhiyallahu ‘anhu berkata, ‘Ia dalam keadaan terpaksa, pendapatku hendaknya kalian membebaskannya.’ Maka beliau (‘Umar Radhiyallahu ‘anhu) pun melepaskannya.” [Shahih: Al-Irwaa’ no. 2313, al-Baihaqi VIII/236]

بَارَكَ اللهُ لِي وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ. وَنَفَعَنِي وَاِيِّاكُمْ بما فيه مِنَ الآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. وَتَقَبَّلْ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلاوَتَهُ اِنّهُ هُوَ السَّمِيْعُ اْلعَلِيْمُ. فَاسْتَغْفِرُوْا اِنَّهُ هُوَاْلغَفُوْرُ الرَّحِيْم


KHUTBAH KEDUA

اَلْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِيْنَ، وَلَا عُدْوَانَ إِلَّا عَلَى الظَّالِمِيْنَ.
 أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاّ اللهُ ، وَأَشْهَدُ أَنّ مُحَمّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الصَّادِقُ الْوَعْدُ الْأَمِيْنُ.
اَللهُمّ صَلّ وَسَلّمْ عَلى مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وِأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن.
 عِبَادَ اللهِ ، أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ وَطَاعَتِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ.
قَالَ اللهُ تَعَالَى فِي الْقُرْآنِ الْكَرِيْم
إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيماً
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ،وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.
اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ، وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ. اَللَّهُمَّ أَرِنَا الْحَقَّ حَقًّا وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ، وَأَرِنَا الْبَاطِلَ باَطِلاً وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ. رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا. سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ، وَسَلاَمٌ عَلَى الْمُرْسَلِيْنَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.
عِبَادَ اللهِ، إِنَّ اللهَ يَأْمُرُكُمْ بِالْعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيتَآئِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَآءِ وَالْمُنكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar