Khutbah Jum'at
Drs. St. Mukhlis
Denros
Di Masjid Nurul
Falah Tanjung Paku
Kecamatan Tanjung Harapan
Kota Solok
Sumatera Barat
Tanggal 06
Februari 2015.M / 16 Rabiul Akhir 1436.H
إِنّ الْحَمْدَ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنّ مُحَمّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ
اَللهُمّ صَلّ وَسَلّمْ عَلى مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وِأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن.
يَاأَيّهَا الّذَيْنَ آمَنُوْا اتّقُوا اللهَ حَقّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنّ إِلاّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ
يَاأَيّهَا النَاسُ اتّقُوْا رَبّكُمُ الّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَنِسَاءً وَاتّقُوا اللهَ الَذِي تَسَاءَلُوْنَ بِهِ وَاْلأَرْحَام َ إِنّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا
يَاأَيّهَا الّذِيْنَ آمَنُوْا اتّقُوا اللهَ وَقُوْلُوْا قَوْلاً سَدِيْدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْلَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيْمًا، أَمّا بَعْدُ ...
فَأِنّ أَصْدَقَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ، وَخَيْرَ الْهَدْىِ هَدْىُ مُحَمّدٍ صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّمَ، وَشَرّ اْلأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةً، وَكُلّ ضَلاَلَةِ فِي النّارِ.
Kaum Muslimin
Rahimakumullah
Marilah kita bersyukur kepada Allah yang telah menganugerahkan nikmat kepada kita, nikmat yang amat banyak, berupa nikmat Iman, Islam, nikmat Sunnah dan nikmat sehat, sehingga kita masih bisa mendekatkan diri kepadaNya.
Marilah kita bersyukur kepada Allah yang telah menganugerahkan nikmat kepada kita, nikmat yang amat banyak, berupa nikmat Iman, Islam, nikmat Sunnah dan nikmat sehat, sehingga kita masih bisa mendekatkan diri kepadaNya.
Hari ini khatib akan berbicara tentang kewajiban
seorang Muslim terhadap pemimpinnya. Sebelum kita lebih lanjut menjelaskan
bagaimana kewajiban seorang Muslim terhadap pemimpinnya, kita awali dulu
penjelasan siapa mereka Amirul Mukminin?
Barangsiapa memegang tampuk kekuasaan, dan kondisi
sosial menjadi stabil pada saat kekuasaannya, maka dia dinamakan Amirul
Mukminin, baik berkuasanya itu dengan cara syar'i atau tidak. Yang dimaksud
dengan syar'i adalah amir yang ditunjuk langsung oleh imam sebelumnya, seperti
yang terjadi pada kekhilafahan 'Umar bin al-Khaththab, atau dia terpilih
melalui musyawarah ahlu halli wa al 'Aqdi, seperti 'Ustman bin Affan dan Ali
bin Abi Thalib. Adapun jalan yang tidak syar'i adalah dengan menggunakan kekuatan
dan senjata sehingga kondisi sosial stabil di tangannya, maka dia juga
dinamakan Amirul Mukminin yang wajib kita taati.
Al-Imam Ahmad bin Hanbal berkata, "Barangsiapa yang menang atas peperangan
dengan menggunakan pedang sehingga ia menjadi seorang khalifah (pemimpin) yang
dinamakan Amirul Mukminin, maka haram bagi seseorang yang beriman kepada Allah
dan Hari Akhir untuk melewati malamnya dengan tidak menganggapnya sebagai
seorang pemimpin, baik dia orang yang shalih mau-pun jahat." (Al-Ahkam
as-Sulthaniyah karya Abu Ya'la.)
Jama'ah Jum'at yang Dirahmati Allah
Ahlu
Sunnah wal Jama'ah mempunyai prinsip-prinsip terhadap penguasa, di antaranya,
- Meyakini wajibnya bai'at terhadap penguasa.
Ketahuilah bahwa orang yang menjadi khalifah
secara suka-rela, di mana manusia sepakat dan ridha kepadanya, atau karena
khalifah tersebut dapat menundukkan mereka dengan kekuatan sehingga ia menjadi
khalifah, maka mereka wajib taat kepadanya dan haram keluar dari ketaatan
kepadanya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ خَلَعَ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ لَقِيَ اللّهَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَا حُجَّةَ لَهُ وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً.
"Barangsiapa melepaskan ketaatan (dari
penguasa) niscaya ia akan menjumpai Allah dalam kondisi tanpa memiliki hujjah.
Dan barang-siapa meninggal tanpa ikatan bai'at maka kematiannya seperti
kematian jahiliyyah." (HR. Muslim).
Hadits
yang mulia ini menunjukkan wajibnya berbai'at kepada seorang penguasa yang
telah mampu mengendalikan kondisi sosial di bawah kekuasaannya, dan haram untuk
keluar dari ketaatan terhadap penguasa tersebut; baik dia shalih atau fajir.
Kewajiban
bagi setiap Muslim yang berada di bawah seorang penguasa Muslim yang telah
disepakati oleh kaum Muslimin bahwa ia sebagai penguasa, atau dapat menundukkan
dengan pedangnya, hendaknya berbai'at kepadanya dan meyakini wajibnya berbai'at
kepadanya. Barangsiapa yang tidak mempunyai niatan untuk berbai'at kepadanya
atau tidak meyakini kewajibannya, maka ketika dia mati, maka kematiannya sama dengan
kematian orang-orang jahiliyah.
Satu hal yang wajib kami perjelas di sini,
adanya salah penafsiran terhadap hadits di atas dari beberapa kelompok pergerakan,
yaitu bai'at yang ditujukan kepada pemimpin para jama'ah tersebut, dan
mewajibkan kepada setiap individu untuk mengadakan jabat tangan secara langsung
kepada pemimpin-pemimpin mereka, dan barangsiapa yang tidak melaksanakannya,
maka dianggap kafir atau tidak layak untuk mendapatkan loyalitas. Ini merupakan
pemahaman yang batil (keliru).
Bai'at itu hanyalah kepada khalifah atau
Amirul Mukminin, tidak kepada yang lainnya, dan tidak berarti setiap kaum
Muslimin harus mendatangi Amirul Mukminin atau wakilnya untuk berjabat tangan,
tapi cukup untuk meniatkan dan meyakini kewajibannya. Sebab tidak pernah
diceritakan bahwa ketika Abu Bakar, Umar, Utsman, atau Ali bin Abi Thalib menjadi
khalifah, kaum Muslimin berbondong-bondong mendatangi mereka untuk berjabat
tangan, tapi yang membai'at mereka secara langsung hanyalah ahlul halli wal
'aqdi.
- Menaati mereka dalam perkara yang ma'ruf
Termasuk
dari prinsip Ahlus Sunnah wal Jama'ah, mereka berpendapat bahwa wajib taat
kepada pemimpin kaum Muslimin selama mereka tidak menyuruh kepada kemaksiatan.
Allah Ta’ala berfirman,
َا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً
"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah
dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur`an) dan Rasul
(Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Kemudian, yang
demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya."
(An-Nisa`: 59).
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيْمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ إِلَّا أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَةٍ فَإِنْ أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ.
"Wajib atas seorang Muslim untuk mendengar dan taat (kepada penguasa)
pada perkara yang ia sukai dan tidak ia sukai, kecuali jika diperintahkan
berbuat maksiat, jika diperintah berbuat maksiat, maka tidak boleh mendengar
dan tidak brleh taat." (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Beliau shallallahu ‘alaihi
wasallam juga bersabda,
أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ.
"Aku
wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, mendengar dan taat
walaupun (yang memerintah adalah) seorang budak Habasyi (yang hitam)."
(HR. At-Tirmidzi dan lainnya, serta dishahihkan al-Albani).
Dan beliau
shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,
مَنْ أَطَاعَنِيْ فَقَدْ أَطَاعَ اللّهَ وَمَنْ يَعْصِنِيْ فَقَدْ عَصَى اللّهَ وَمَنْ يُطِعِ الْأَمِيْرَ فَقَدْ أَطَاعَنِيْ وَمَنْ يَعْصِ الْأَمِيْرَ فَقَدْ عَصَانِيْ.
"Barangsiapa taat kepadaku berarti ia
telah menaati Allah, dan barangsiapa bermaksiat kepadaku berarti ia telah
bermaksiat kepada Allah. Dan barangsiapa yang taat kepada amir (yang Muslim)
maka ia taat kepadaku dan barangsiapa bermaksiat kepada amir, maka ia bermaksiat
kepadaku." (Muttafaq
Alaih).
Dan
tentang ini Ahlus Sunnah sepakat bahwasanya taat kepada penguasa (pemerintah)
adalah wajib. Berikut ini adalah sejumlah kutipan dari ulama-ulama besar Ahlus
Sunnah tentang wajib-nya taat kepada pemimpin dan akibat buruk dari membangkang:
Al-Imam al-Barbahari berkata, "Barangsiapa memegang kekuasaan dengan kesepakatan
kaum Muslimin dan mereka Ridha kepadanya, maka ia adalah Amirul Mukminin. Haram
bagi seorang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir untuk melewati malam-nya
dengan tidak menganggapnya sebagai seorang pemimpin, baik dia orang yang shalih
maupun fajir."
Al-Imam Ibnu Hajar al-Asqalani berkata,
"Para ulama telah sepakat atas
wajibnya taat kepada pemimpin yang menang (dalam memperebutkan kekuasaan) dan
wajib jihad bersamanya. Taat kepadanya lebih baik daripada membangkang
kepadanya, karena hal tersebut akan mencegah pertumpahan darah dan menciptakan
ketenangan rakyat."
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata,
"orang-orang yang memberontak kepada
pemimpin, pasti akan menimbulkan kerusakan yang lebih besar daripada
kebaikannya." (Minhaj as-Sunnah).
Akan
tetapi kewajiban taat kepada penguasa tersebut diberi batasan sendiri oleh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan sabdanya,
لَا طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةِ اللهِ، إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوْفِ.
"Tidak boleh taat terhadap perintah bermaksiat
kepada Allah, sesung-guhnya ketaatan itu hanya dalam hal yang ma'ruf."
(Muttafaq Alaih)
- Memberi nasihat kepada mereka dengan cara yang baik.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِنَّ أَفْضَلَ الْجِهَادِ كَلِمَةُ حَقٍّ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ.
"Jihad yang paling utama
adalah mengatakan ucapan yang haq di hadapan penguasa yang zhalim."
Cara menasihati penguasa
Menasihati
penguasa hendaklah dengan menggunakan adab dan Retorika tersendiri, jangan sampai
disamakan dengan menasihati rakyat biasa. Hendaklah lemah lembut, secara diam
(tidak terang-terangan), tidak menyebut-nyebut keburukan dan kesalahan mereka
di khalayak ramai dan di atas mimbar. Sebagaimana dijelaskan dalam sabda Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam,
مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِذِيْ سُلْطَانٍ بِأَمْرٍ، فَلَا يُبْدِ لَهُ عَلَانِيَةً، وَل;كِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ، فَيَخْلُوَ بِهِ، فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ، وَإِلَّا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِيْ عَلَيْهِ لَهُ.
"Barangsiapa yang ingin menasihati penguasa
dengan suatu perkara, maka janganlah dia menampakkannya secara terbuka, tapi
hendaklah dia menggenggam tangannya dan mengajaknya berduaan dengan-nya, jika
ia menerima darinya, maka itulah yang diharapkan, dan jika tidak, maka ia telah
menunaikan kewajibannya terhadapnya." (HR. Ahmad dan Ibnu Ashim dalam
as-Sunnah dan berkata al-Albani dalam takhrijnya, "Hadits ini shahih dengan
mengumpulkan jalan-jalan periwayatannya.").
Syaikh asy-Syanqithi berkata,
"Kaum Muslimin terhadap penguasa yang zhalim ada tiga kelompok:
Pertama, mampu untuk memberikan nasihat kepadanya, beramar ma'ruf
nahi mungkar kepadanya dengan tidak mendatang-kan kemungkaran yang lebih besar
dari sebelumnya, maka nasihat dalam kondisi seperti ini adalah sebagai bentuk
jihad dan menyelamatkan dia dari dosa walaupun nasihat itu tidak berpengaruh
kepadanya. Dan wajib mengemukakan
nasihatnya dengan cara yang baik dan lemah lembut.
Kedua, tidak mampu menegakkan nasihat dikarenakan
kezhalimannya yang begitu parah, dan dapat menimbulkan mudharat yang lebih
besar, maka dalam kondisi seperti ini pengingkarannya hanya dengan hati.
Ketiga, Ridha (setuju) atas kemungkaran yang dilakukannya,
dengan demikian orang bersangkutan berserikat dalam dosa dengannya.
Maka perlu diperhatikan oleh orang yang
akan menyampaikan nasihat atau mengingkari kemungkaran seorang penguasa agar
memahami kaidah-kaidah syar'i, maslahat, dan mafsadat yang akan timbul.
- Tidak mengadakan kudeta (pemberontakan).
Ahlus Sunnah wal Jama'ah mengharamkan
keluar dan memberontak kepada pemimpin mereka jika pemimpin berbuat dosa selain
kekufuran, hendaklah sabar jika hal tersebut terjadi, karena Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam memerintahkan agar taat kepada mereka dalam segala hal selain
maksiat, dan tidak boleh memeranginya selama tidak melakukan kekufuran yang
nyata, mereka tidak boleh diperangi sehingga nampak kekufuran yang nyata dan
kejelasan yang dapat dibuktikan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
خِيَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِيْنَ تُحِبُّوْنَهُمْ وَيُحِبُّوْنَكُمْ، وَيُصَلُّوْنَ عَلَيْكُمْ وَتُصَلُّوْنَ عَلَيْهِمْ، وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِيْنَ تُبْغِضُوْنَهُمْ وَيُبْغِضُوْنَكُمْ، وَتَلْعَنُوْنَهُمْ وَيَلْعَنُوْنَكُمْ، قِيْلَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَفَلَا نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ؟ فَقَالَ: لَا، مَا أَقَامُوْا فِيْكُمُ الصَّلَاةَ، وَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْ وُلَاتِكُمْ شَيْئًا تَكْرَهُوْنَهُ فَاكْرَهُوْا عَمَلَهُ وَلَا تَنْزِعُوْا يَدًا مِنْ طَاعَةٍ.
"Sebaik-baik pemimpin kalian adalah yang
kalian cintai dan mereka mencintai kalian, kalian mendo’akan mereka dan mereka
mendo’akan kalian. (Dan sebaliknya) Seburuk-buruk pemimpin kalian adalah yang
kalian benci dan mereka benci kepada kalian, kalian melaknat mereka dan mereka
pun melaknat kalian.' Lalu para sahabat bertanya, 'Wahai Rasulullah, apakah
kami harus memerangi mereka dengan pedang?' Beliau menjawab, 'Tidak, selama ia
menegakkan shalat di antara kalian. Dan Apabila kalian melihat dari pemimpin
kalian sesuatu yang tidak kalian sukai, maka bencilah amalnya dan janganlah
kamu melepaskan (diri) dan ketaatan kepadanya." (HR. Muslim).
Ketahuilah
bahwa kezhaliman penguasa berawal dari dosa yang kita perbuat, maka janganlah
menolak keburukan dengan keburukan. Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا أَصَابَكُم مِّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَن كَثِيرٍ
"Dan apa saja musibah yang menimpa kamu, maka
disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar
(dari kesalahan-kesalahanmu)." (Asy-Syura': 30).
وَكَذَلِكَ نُوَلِّي بَعْضَ الظَّالِمِينَ بَعْضاً بِمَا كَانُواْ يَكْسِبُونَ
"Dan demikianlah Kami jadikan sebagian orang-orang yang zhalim itu
menjadi teman bagi sebagian yang lain disebabkan apa yang mereka usahakan."
(Al-An'am: 129).
Imam al-Hasan al-Bashri berkata, "Ketahuilah -semoga Allah mengampuni Anda- bahwa
kejahatan pemimpin itu merupakan salah satu bentuk murka Allah, dan murka itu
tidak dapat dihadapi dengan pedang, akan tetapi dicegah dan ditolak dengan doa
dan taubat, kembali ke jalan Allah dan menjauhkan diri dari segala dosa.
Sesungguhnya murka Allah itu bila dihadapi dengan pedang, maka murka tersebut
akan lebih parah."
Diceritakan bahwa al-Hasan al-Bashri
pernah mendengar seseorang mendoakan al-Hajjaj dengan keburukan, maka dia berkata,
"Janganlah kamu berbuat demikian,
-semoga Allah merahmati kamu- sesungguhnya apa yang menimpa diri kalian adalah
disebabkan perbuatan diri kalian sendiri. Sesungguhnya kami khawatir
seandai-nya Hajjaj dicopot dari jabatannya atau wafat, justru akan datang seorang
pemimpin yang berwatak kera atau babi." (Adab al-Hasan, karya Ibnu
Jauzi).
Maka jalan yang terbaik untuk
menyelamatkan diri kita dari kezhaliman seorang penguasa adalah bertumpu pada
tiga hal:
Pertama, hendaklah
kaum Muslimin bertaubat kepada Allah.
Kedua, hendaklah Kaum
Muslimin memperbaiki akidah mereka.
Ketiga, hendaklah mereka mendidik diri dan keluarga di atas Islam yang benar, Islam yang telah ditempuh oleh Nabi dan para sahabatnya. Hal ini bersandarkan pada Firman Allah Ta’ala,
Ketiga, hendaklah mereka mendidik diri dan keluarga di atas Islam yang benar, Islam yang telah ditempuh oleh Nabi dan para sahabatnya. Hal ini bersandarkan pada Firman Allah Ta’ala,
إِنَّ اللّهَ لاَ يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُواْ مَا بِأَنْفُسِهِمْ
"Sesungguhnya Allah tidak merubah
keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka
sendiri." (Ar-Ra'du:
11).
5.
Mendoakan mereka dengan kebaikan.
Mendoakan
para pemimpin dengan kebaikan, hidayah dan istiqamah adalah termasuk cara yang
ditempuh salafus shalih.
Al-Imam
al-Barbahari berkata, "Jika Anda
melihat orang yang mendoakan keburukan kepada pemimpin, ketahuilah bahwa ia termasuk
pengikut hawa nafsu, namun bila Anda melihat orang yang mendoakan kebaikan
kepada seorang pemimpin, ketahuilah bahwa ia termasuk ahlu sunnah."
Al-Imam al-Fudha`il bin 'Iyad berkata,
"Seandainya saya mempunyai doa yang
mustajab pasti tidak akan saya panjatkan kecuali hanya untuk pemimpin."
Kita diperintahkan agar mendoakan kebaikan bagi mereka, dan kita tidak
diperintahkan mendoakan keburukan bagi mereka, walaupun mereka jahat dan
zhalim, karena kezhaliman mereka akan berakibat fatal bagi dirinya sendiri, dan
kebaikan mereka juga untuk dirinya sendiri dan untuk kaum Muslimin. .
Jamaah Jum'at yang Dirahmati
Allah
- Tidak mudah dan sembrono dalam mengkafirkan mereka.
Takfir
adalah merupakan hak Allah, maka tidak boleh dilontarkan kecuali kepada orang
yang berhak dikafirkan. Karena mengkafirkan seseorang dengan sembrono tanpa
hujjah, maka kekufuran itu akan kembali kepada yang menuduh. Nabi bersabda,
مَنْ قَالَ لِأَخِيْهِ: يَا كَافِرٌ، فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا.
"Barangsiapa yang mengatakan kepada
saudaranya, 'Wahai kafir', maka (tuduhan tersebut) akan kembali kepada salah
satu dari keduanya." (Muttafaq Alaih).
Adapun kaitannya dengan penguasa, maka
mengkafirkan penguasa akan menimbulkan berbagai kerusakan dan dampak negatif
yang timbul setelahnya. Maka Ahlus Sunnah wal Jama'ah menetapkan bahwa penguasa
tidak boleh dikafirkan, kecuali terkumpul beberapa syarat:
1. Kita melihat
kekufuran yang nyata, tidak ada kesamaran lagi.
2. Ada kejelasan bukti yang
nyata dari al-Qur`an dan Sunnah serta Ijma' tentang kekufurannya. Dari Ubadah
bin ash-Shamit, ia berkata,
دَعَانَا النَّبِيُّ، فَبَايَعْنَاهُ، فَقَالَ فِيْمَا أَخَذَ عَلَيْنَا أَنْ بَايَعَنَا: عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةً عَلَيْنَا وَأَنْ لَا نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنَ اللّهِ فِيْهِ بُرْهَانٌ.
"Nabi
Shallallahu ‘alaihi wasallam mendakwahi kami, maka kami berbai'at kepada
beliau. Maka beliau menatakan tuntutan yang wajib kami penuhi apabila beliau membai'at
kami, (ialah): mendengar dan taat (kepada pemimpin) dalam keadaan suka atau terpaksa,
ketika dalam kemudahan ataupun sulit, dan (sekalipun) sewenang-wenang terhadap
kami, dan agaR kami tidak merampas kekuasaan dari pemiliknya kecuali jika
kalian melihat kekufuran yang nyata, dan kamu mempunyai bukti yang nyata dari
Allah dalam hal itu." (HR. Bukhari dan Muslim).
3. Pihak yang berhak memvonis kafir dan tidaknya
adalah ulama. Allah Ta’ala berfirman,
وَإِذَا جَاءهُمْ أَمْرٌ مِّنَ الأَمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُواْ بِهِ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُوْلِي الأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنبِطُونَهُ مِنْهُمْ وَلَوْلاَ فَضْلُ اللهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لاَتَّبَعْتُمُ الشَّيْطَانَ إِلاَّ قَلِيلاً
"Dan apabila datang kepada mereka suatu berita
tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya, dan kalau mereka
menyerahkannya kepada Rasul dan ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang
yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka
(Rasul dan ulil Amri), kalau tidak karena karunia dan Rahmat Allah kepada kamu,
tentulah kamu mengikuti setan, kecuali sebagian kecil saja (di antaramu)."
(An-Nisa`: 83) ,
فَاسْتَبِقُواْ الْخَيْرَاتِ أَقُوْلُ قَوْلِي هَذا
أَسْتَغْفِرُ اللهَ إِنّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرّحِيْمِ
(Abu Qatadah, Taat Kepada
Pemerintah, Buku Kumpulan Khutbah Jum’at Pilihan Setahun Edisi ke-2,
Darul Haq Jakarta. Telp. 021-84998039. Diposting oleh: Abu Nabiel).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar