Jumat, 18 Maret 2016

155. Menjaga Keshalehan Diri




Khutbah Jum’at
Drs. St. Mukhlis Denros
Di Masjid At Taqwa
 Komplek SMKN 2 Batam
Jalan Pemuda No.5 Legenda Malaka
Kecamatan Batam Center, Kota Batam
Provinsi Kepulauan Riau
09 Jumadil Akhir 1437. H/ 18 Maret  2016.M


إِنّ الْحَمْدَ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنّ مُحَمّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ اَللهُمّ صَلّ وَسَلّمْ عَلى مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وِأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن.
فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، اِتَّقُوا اللهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ، وَاتَّقُوا اللهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ
قَالَ اللهُ تَعَالَى فِي الْقُرْآنِ الْكَرِيْم
يَاأَيّهَا الّذَيْنَ آمَنُوْا اتّقُوا اللهَ حَقّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنّ إِلاّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ
يَاأَيّهَا النَاسُ اتّقُوْا رَبّكُمُ الّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَنِسَاءً وَاتّقُوا اللهَ الَذِي تَسَاءَلُوْنَ بِهِ وَاْلأَرْحَام َ إِنّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا
يَاأَيّهَا الّذِيْنَ آمَنُوْا اتّقُوا اللهَ وَقُوْلُوْا قَوْلاً سَدِيْدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْلَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيْمًا،
أَمّا بَعْدُ فَأِنّ أَصْدَقَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ، وَخَيْرَ الْهَدْىِ هَدْىُ مُحَمّدٍ صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّمَ، وَشَرّ اْلأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةً، وَكُلّ ضَلاَلَةِ فِي النّارِ.

Hadirin, sidang jum’at yang dirahmati Allah
Puji syukur kita sanjungkan kepada  Allah Subhanahu Wa Ta’ala, yang telah memberikan karunia dan rahmat-Nya kepada kita, nikmat sehat, nikmat rezeki, lebih-lebih nikmat iman dan islam, semoga dengan datangnya kita ke masjid ini untuk menunaikan shalat jum’at merupakan ujud syukur kita kepada-Nya.

Shalawat dan salam kita sampaikan kepada nabi Kita Muhammad Shalallahu Alaihi Wasallam, yang kita jadikan sebagai teladan dan pimpinan dalam kehidupan ini, teladan dalam hidup pribadi, berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Khatib mengajak kita semua untuk meningkatkan kualitas iman, takwa dan amal shaleh, dari satu shalat ke shalat berikutnya, dari satu jum’at ke jum’at selanjutnuya dan dari satu Ramadhan ke Ramadhan berikutnya.
Hadirin, sidang jum’at yang dirahmati Allah
Menjadi seorang mukmin akan menampilkan pribadi yang berbeda dengan lain orang dari aqidah, fikiran, ibadah dan akhlak sehingga kriteria mereka adalah orang yang salimul aqidah yaitu aqidah yang yang selamat atau bersih dari noda-noda syirik, salamatul fikrah yaitu fikiran yang tidak terkontaminasi oleh pemikiran diluar bingkai islam, ibadahnya shahihah yaitu ibadah yang bersih dari bid’ah serta matinul akhlak, yaitu akhlak   yang mulia, itulah sifat dan karakter shaleh dengan watak lainnya sebagai pelengkap.

Shalih dalam Alquran banyak diulang dalam beberapa ayat dan semuanya menunjukkan pada satu predikat, yaitu indikator keimanan seseorang.Rangkaian ayat dalam Alquran sering digabungkan antara “alladzina aamanuu” dengan “amilus shalihat.” Hal ini mengandung faidah bahwa antara iman dan amal shalih tidak bisa dipisahkan, bagai dua sisi mata uang (like two sides a coin), satu sama lain saling menyempunakan.

Dalam Kamus al-Munawwir, istilah Shalih mengandung makna al-Jayyid (bagus), al-Baar (sholeh), al-manfa’at (kemanfaatan), al-Ni’mat al-Waafirah (keni’matan yang sempurna), dan lain-lain.Semua istilah tersebut merujuk pada satu kata ‘kebaikan.’Tolok ukur kelakuan baik dan buruk mestilah merujuk kepada ketentuan Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Demikian rumus yang diberikan oleh kebanyakan ulama.Apa yang dinilai baik oleh Allah, pasti baik dalam esensinya. Demikian pula sebaliknya, tidak mungkin Dia menilai kebohongan sebagai kelakuan baik, karena kebohongan esensinya buruk.
Berbuat baik (amal shalih) tentu tidak cukup hanya untuk diri sendiri saja.Hal tersebut hanya memberikan kesan menjadi shalih secara individual, padahal Islam menganjurkan terwujudnya suatu sistem akhlak yang mengerucut pada predikat kesahalihan sosial (kolektif/jama’i).

Islam adalah sebagai sistem aturan (agama) yang berfungsi sebagai rahmatan lil ‘alamin.Karena itu, sasaran akhlak yang baik selain untuk diri sendiri juga untuk Allah Subhanahu Wa Ta’ala, sesama manusia, dan alam secara keseluruhan.

Perintah agama untuk berbuat kebaikan pada dasarnya merupakan washilah yang akan menghantarkan kita pada derajat keridhaan Illahi nanti di akhirat. Perintah dan dorongan berbuat baik itu datang dari Allah melalui para utusan-Nya.Namun sesungguhnya dorongan kepada kebaikan itu sudah merupakan “bakat primordial” manusia, bersumber dari hati nurani (nurani, bersifat nur atau terang) karena adanya fitrah pada manusia. Oleh karena itu berbuat baik merupakan sesuatu yang “natural” atau alami, karena dia tidak lain adalah perpanjangan nalurinya sendiri, alamnya sendiri, yang ada secara primordial, sejak seseorang dilahirkan ke dunia ini.

Maka jika Allah memerintahkan kita berbuat baik, sesungguhnya seolah-olah Dia hanyalah mengingatkan kepada kita akan “nature” kita sendiri, kecenderungan kita sendiri. Dengan kata lain, berbuat baik adalah sesuatu yang manusiawi, yang sejalan dan mencocoki sifat dasar manusia itu sendiri. Dengan sendirinya perbuatan jahat adalah melawan kemanusiaan, menyalahi sifat dasar manusia itu.[Ihsan Faisal Mag, Hikmah: Keshalihan Sosial, Rabu, republika.co.id.02 Maret 2011, 07:26 WIB].
Kriteria hamba yang shaleh itu tidak hanya sebatas iman dan amal yang dilakukannya tapi seluruh asfek keimanan harus nampak pada pribadinya, betapa banyaknya orang yang nampaknya shaleh dari segi pakaian dan ucapan tapi sebenarnya keshalehannya belumlah dapat dijadikan sebagai ukuran, ada orang yang nampak baik dalam kehidupannya dengan ibadah shalat yang tekun, santun dan mengabdi kepada orangtua, disiplin dalam bekerja, bicaranya terjaga apalagi gunjing dan caci-maki tidak pernah terdengar dari lisannya sehingga orang sekampungnya menyebutnya “lelaki dipintu syurga” tapi terakhir dia diketahui melakukan korupsi milyaran rupiah. Inilah kriteria hamba yang shaleh itu sebagaimana yang disebutkan oleh Muhammad Kosim MA; Setiap Muslim pasti menginginkan menjadi hamba yang saleh.Bahkan, sesudah kita berwudlu untuk menghadap dan berdialog dengan Allah (shalat), kita disunahkan berdoa kepada-Nya. Salah satu doa tersebut adalah 'dan jadikanlah aku termasuk kelompok hamba-Mu yang saleh". Jangankan sebagai manusia biasa, Nabi Ibrahim AS pun berdoa:

"Ya Tuhanku, berikanlah kepadaku hikmah dan masukkanlah aku ke dalam golongan orang-orang yang saleh." (QS Asy-Syu'ara [26]: 83).
Untuk menjadi hamba yang saleh, perlu diketahui kriteria hamba-hamba yang saleh tersebut.Dengan memahami kriteria tersebut, diharapkan kita berupaya untuk melakukannya sehingga di hadapan Allah kita termasuk dalam golongan hamba-hamba yang saleh.
Adapun kriteria hamba yang saleh, disebutkan oleh Allah dalam Alquran surah Ali Imran [3] ayat 113-114.

Mereka itu tidak sama; di antara Ahli Kitab itu ada golongan yang berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud (sembahyang).

Mereka beriman kepada Allah dan hari penghabisan, mereka menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar dan bersegera kepada (mengerjakan) pelbagai kebajikan; mereka itu termasuk orang-orang yang saleh.
Dalam ayat ini, disebutkan tujuh kriteria hamba yang saleh.
Pertama, orang yang berlaku lurus (memiliki karakter istikamah).Yakni, teguh pendirian, konsisten, dan komitmen dalam meyakini dan melakukan kebenaran.
Kedua, senantiasa membaca ayat-ayat Allah, baik yang qauliyah (naqliyah), maupun ayat-ayat kauniyah (aqliyah).
Ketiga, mereka yang senantiasa sujud di tengah keheningan malam, dengan melaksanakan shalat malam.
Keempat, beriman kepada Allah.Setiap perbuatan dan tingkah lakunya dilandasi dengan zikir (ingat) Allah.  Dengan demikian, zikir itu akan menjadi alat kontrol dan stabilitator baginya dari berbagai kemaksiatan dan dosa.
Kelima, beriman kepada hari akhir.Kehidupannya senantiasa beroritenasi akhirat dan jangka panjang.Ia mengisi waktunya dengan kegiatan positif yang bernilai ibadah.
Keenam, mengajak orang lain untuk berbuat baik dan menghindari kejahatan atau kemaksiatan. Ia harus menjadi teladan, sehingga orang lain bisa mengikutinya. Ketujuh, bersegera melakuan kegiatan positif.Hamba yang saleh tersebut senantiasa berlomba-lomba melakukan kebaikan yang dilandasi dengan keikhlasan karena untuk Allah SWT.
Tujuh karakter di atas merupakan karakter hamba yang saleh. Dari ayat ini pula dapat disimpulkan bahwa kesalehan tersebut mencakup dua hal, yaitu kesalehan ritual dan kesalehan sosial.[Muhammad Kosim MA,Tujuh Kriteria Hamba Saleh, RepublikaSelasa, 01 Juni 2010, 22:27 WIB].

Dr. Saad Riyadh dalam bukunya berjudul Jiwa Dalam Bimbingan Rasulullah Saw, menyatakan;
                Diriwayatkan bahwa pada kesempatan lain Utsman bin Affan ra, pernah berkata,”Jauhilah minuman keras karena ia adalah keburukan terbesar. Pada ummat dahulu yang datang sebelum kalian, ada seorang laki-laki yang sangat shaleh.Kemudian ada seorang perempuan yang jatuh cinta kepadanya. Perempuan itu lalu mengutus seorang pelayannya kepada laki-laki itu seraya berkata,”Sesungguhnya kami bermaksud mengundangmu untuk menjadi saksi terhadap suatu urusan.” Keduanya selanjutnya pergi ke rumah perempuan tadi.

            Sesampainya disana, setiap kali laki-laki shaleh itu melewati sebuah pintu di dalam rumah itu maka pelayan tadi segera menguncinya.Pada akhirnya, laki-laki itu menjumpai di dalam rumah seorang perempuan dengan aroma yang sangat wangi.Disamping wanita itu ada seorang anak kecil dan sebuah bejana berisi minuman keras.Perempuan itu lalu berkata,”Demi Allah, saya sebetulnya tidak mengundangmu dengan maksud menjadi saksi, tetapi agar engkau menyetubuhi saya.Jika engkau menolak maka engkau harus meminum segelas minuman keras ini atau kalau tidak membunuh anak kecil ini.

            Laki-laki shaleh tadi kemudian berkata,”Berikan kepada saya segelas minuman keras itu.” Ternyata setelah meminumnya, dia kemudian terus meminta tambah sampai akhirnya, dengan tidak menunggu lebih lama, dia kemudian menyetubuhi perempuan itu sekaligus membunuh anak kecil.Oleh karena itu, jauhilah minuman keras. Demi Allah swt, iman tidak akan pernah bersatu pada diri seseorang yang memiliki kebiasaan meminum minuman kera. Jika keduanya bertemu pada diri seseorang maka salah satu diantaranya harus keluar.” [HR. An Nasa’i].

            Rasulullah secara intensif memperingatkan manusia agar menjauhi hal-hal yang dapat menghancurkan kehidupan mereka serta mewaspadai tipu daya setan yang tidak akan pernah berhenti menggoda manusia sebelum terjerumus ke dalam jurang kesesatan. [Gema Insani, 2007, hal 69].
Berbahagialah orang yang meninggalkan dunia sebelum dunia meninggalkannya, yang membangun kuburannya sebelum memasukinya dan yang ridha kepada Tuhannya sebelum berjumpa dengan-Nya.” (Yahya bin Muadz ar-Razi dalam An-Nawawi, Nasha'ih al-'Ibad, hlm. 12).

Mengomentari pernyataan di atas, Imam an-Nawawi menyatakan: Pertama, 'meninggalkan dunia' sebelum 'dunia meninggalkannya' bermakna menghabiskan harta dalam berbagai amal kebajikan sebelum Allah mencabut harta itu dari dirinya. Kedua, 'membangun kuburan' sebelum memasukinya bermakna memperbanyak
8
 amal shalih saat di dunia sehingga ia bisa merasakan kedamaian di alam kuburnya saat kematiannya. Ketiga, ridha kepada Tuhannya sebelum berjumpa dengan-Nya adalah dengan menjalankan seluruh perintah Allah dan menjauhi semua larangan-Nya sebelum ia menghadap Allah SWT untuk mempertanggungjawabkan seluruh perbuatannya.
Jika direnungkan, pernyataan di atas sesungguhnya amat dalam maknanya dan amat berharga.Apalagi jika dikaitkan dengan realitas kehidupan kaum Muslim saat ini.
Saat ini, sebagaimana kita lihat, banyak Muslim yang hidupnya berkecukupan.Namun, banyak di antara yang berkecukupan itu menghabiskan hartanya justru dalam perkara-perkara yang kurang bermanfaat, bahkan dalam perkara-perkara maksiat. Tak sedikit orang yang dengan mudah membeli segelas kopi seharga puluhan ribu di hotel mewah, tetapi begitu susah mengeluarkan beberapa rupiah saja untuk bersedekah. Banyak orang dengan yang dengan ringan merogoh sakunya ratusan bahkan jutaan rupiah untuk menyewa kamar di hotel berbintang beberapa malam saja, namun betapa berat mereka menyumbang untuk dakwah atau membangun masjid meski dengan jumlah yang sedikit.

Tak sedikit orang berlomba membangun rumah atau apartemen mewah meski tentu hanya untuk hidup sementara saja. Anehnya, mereka tak sedikitpun tertarik untuk berlomba-lomba 'membangun kuburannya' (baca: dengan memperbanyak amal shalih sebagai bekal di dalamnya). Padahal alam kubur itulah yang akan mereka tempati, sebagai alam penantian, sebelum pada akhirnya ia tinggal di alam akhirat dengan abadi. 

Banyak pula orang yang jarang menunaikan perintah-perintah Allah SWT dan malah banyak meninggalkan larangan-larangan-Nya, seolah-olah ia tak pernah ridha menerima semua itu dari Tuhannya; seakan-akan ia tak akan pernah bertemu dengan-Nya di Hari Akhir nanti untuk mempertanggungjawabkan seluruh sikap dan amal perbuatannya itu saat di dunia. [Agar Mulia Di Mata Allah SWT, Mediaummat.com.Thursday, 05 August 2010 14:06].

Setiap Muslim tentu mendambakan dirinya menjadi orang shalih.Namun, bagi sebagian orang, menjadi orang shalih kadang hanya sebatas keinginan, tidak benar-benar diwujudkan.Kadang, keinginan menjadi orang shalih itu malah kontraproduktif dengan praktik-praktik yang dilakukan.Betapa banyak Muslim yang malah mendatangkan halangan-halangan bagi dirinya untuk menjadi orang yang salih.

Berkaitan dengan ini, Imam Ali  pernah berkata, ”Seandainya tidak ada lima perkara, seluruh manusia tentu menjadi orang-orang shalih. Pertama: Merasa puas dengan kebodohan. Kedua: Terlalu fokus terhadap dunia. Ketiga: Bakhil terhadap harta. Keempat: Riya dalam beramal. Kelima: Membanggakan diri sendiri.” (Muhammad Nawawi bin Umar al-Jawi, Nasha’ih al-’Ibad, hlm. 32).

Inilah lima perkara yang oleh Imam Ali dianggap sebagai ’penghalang’ seseorang untuk menjadi orang shalih.
Terkait dengan yang pertama (merasa puas dengan kebodohan), jelas sikap ini tercela dalam Islam yang nyata-nyata telah mewajibkan setiap Muslim untuk menuntut ilmu. Rasulullah SAW bersabda, ”Menuntut ilmu adalah kewajiban setiap Muslim.” (HR Muslim).
Rasul SAW juga bersabda, ”Allah SWT murka terhadap orang yang memiliki ilmu tentang dunia tetapi tidak memiliki ilmu tentang akhirat (agama).” (HR al-Hakim).
Juga sabdanya, ”Dosa orang yang berilmu itu satu, sementara dosa orang bodoh itu dua.” (HR ad-Dailami).Maksudnya, orang yang berilmu tetapi tidak mengamalkan ilmunya mendapatkan satu dosa. Dengan kata lain, dia gugur dari dosa menuntut ilmu, tetapi tetap berdosa karena tidak mengamalkan ilmunya. Adapun orang yang bodoh mendapatkan dua dosa: dosa karena tidak menuntut ilmu sehingga menjadikan dirinya bodoh dan dosa karena dia tidak beramal. Sebab, bagaimana dia bisa beramal, atau apa yang mau diamalkan, sementara dia tidak berilmu?

Terkait dengan yang kedua (terlalu fokus terhadap dunia), sikap ini pun buruk dalam pandangan Islam. Sebab, Allah SWT telah berfirman:

 Carilah pada apa yang telah Allah anugerahkan kepada kalian (kebahagiaan) negeri akhirat dan jangan kalian melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi (QS al-Qashash [28]: 77).

Dalam ayat ini bahkan kebahagiaan akhirat lebih didahulukan daripada kebahagian dunia meski manusia didorong untuk bisa meraih kedua-duanya. Rasul juga bersabda, ”Sebaik-baik kampung dunia adalah bagi orang yang menjadikannya sebagai bekal untuk akhiratnya hingga ia ridha kepada Tuhannya. Seburuk-buruk kampung dunia adalah bagi orang yang terpalingkan olehnya sehingga  berkurang keridhaan kepada Tuhannya.” (HR al-Hakim).

Terkait dengan yang ketiga (bakhil terhadap harta), maka kita tampaknya perlu menyadari kata-kata Imam Ja’far ash-Shadiq. Beliau pernah menyatakan, seorang hamba mesti menyadari bahwa apa yang ada padanya bukan miliknya, tetapi milik ’tuan’-nya, yakni Allah SWT. Segala hal yang ada padanya adalah titipan dari-Nya.Jadi, tak selayaknya dia bakhil terhadap harta, yang juga sesungguhnya merupakan titipan Allah yang kebetulan Dia titipkan kepadanya.

Terkait dengan yang keempat (riya dalam beramal), Rasullullah  bersabda, ”Orang yang paling keras azabnya pada Hari Kiamat adalah orang yang berlaku riya di hadapan manusia bahwa ia telah berbuat baik, padahal tak ada kebaikan sedikit pun di dalamnya.” (HR ad-Dailami).
Rasul pun bersabda, ”Sesungguhnya Allah SWT mengharamkan surga atas orang-orang yang berbuat riya.” (HR Abu Nu’aim).

Terakhir, terkait dengan yang kelima (membanggakan diri sendiri),  kita pun sejatinya menyadari, bahwa tak layak manusia membanggakan diri. Sebab, sejak awal manusia diciptakan dari ’air yang hina’. Lebih dari itu, apa yang harus dibanggakan manusia jika semua yang ada padanya, termasuk dirinya sekalipun, adalah milik Allah Subhanahu Wa Ta’ala, Pencipta manusia dan seluruh jagad raya ini? Tentu sangat janggal dan aneh jika manusia berbangga atas apa yang orang lain titipkan kepadanya. Bukankah aneh jika kita berbangga diri hanya karena dititipi rumah (walau rumah mewah) oleh tetangga samping rumah kita yang kebetulan sedang bepergian jauh?Bukankah aneh jika kita harus takjub diri jika teman kita menitipkan mobilnya (meski mobil itu super mahal) kepada kita saat kebetulan dia harus ke luar negeri? Karena itu, tentu aneh pula jika kita berbangga diri, apalagi bersikap sombong, atas apa saja yang telah Allah titipkan kepada kita (anak-istri, rumah, mobil, apartemen, tanah/sawah yang luas, serta harta kekayaan lainnya yang melimpah ruah). Sebab, bukankah semua itu hakikatnya milik Allah Subhanahu Wa Ta’ala, yang kebetulan Dia titipkan kepada kita?[Penghalang Menjadi Orang Shalih, Media Ummat; Sunday, 18 July 2010 12:06].

            Begitu besarnya godaan yang dihadapi oleh orang yang shaleh berupa konspirasi syaitan untuk meruntuhkan keshalehannya sehingga wajar bila di masyarakat ada ungkapan bahwa orang yang tinggi imannya akan dihadapi oleh syaitan dengan level yang tinggi pula.Selain itu syahwat dan nafsu juga memegang peran menyesatkan pribadi shaleh kepada perbuatan dosa dan maksiat.Untuk itulah orang yang shaleh harus berupaya menghindari segala sesuatu yang dapat menggoda untuk meruntuhkan keshalehannya dengan berhati-hati dalam bersikap, bertindak dan berprasangka, pribadi yang baik bukanlah orang yang tidak pernah berbuat salah tapi adalah orang yang selalu menjaga pribadinya untuk baik serta menyadari kesalahannya dengan bertaubat. Wallahu A’lam.

بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُ

Khutbah Kedua

اَلْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِيْنَ، وَلَا عُدْوَانَ إِلَّا عَلَى الظَّالِمِيْنَ.
 أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاّ اللهُ ، وَأَشْهَدُ أَنّ مُحَمّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الصَّادِقُ الْوَعْدُ الْأَمِيْنُ.
اَللهُمّ صَلّ وَسَلّمْ عَلى مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وِأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن.
 عِبَادَ اللهِ ، أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ وَطَاعَتِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ.
قَالَ اللهُ تَعَالَى فِي الْقُرْآنِ الْكَرِيْم
إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيماً
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ،وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.
اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ، وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ. اَللَّهُمَّ أَرِنَا الْحَقَّ حَقًّا وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ، وَأَرِنَا الْبَاطِلَ باَطِلاً وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ. رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا. سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ، وَسَلاَمٌ عَلَى الْمُرْسَلِيْنَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.
عِبَادَ اللهِ، إِنَّ اللهَ يَأْمُرُكُمْ بِالْعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيتَآئِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَآءِ وَالْمُنكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ