Khutbah Jum’at
Drs. St. Mukhlis Denros
Di Masjid At Taqwa
Komplek SMKN
2 Batam
Jalan Pemuda No.5 Legenda Malaka
Kecamatan Batam Center, Kota Batam
Provinsi Kepulauan Riau
09 Jumadil Akhir 1437. H/ 18 Maret 2016.M
إِنّ الْحَمْدَ ِللهِ نَحْمَدُهُ
وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا
وَسَيّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ
فَلاَ هَادِيَ لَهُ
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاّ اللهُ
وَأَشْهَدُ أَنّ مُحَمّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ اَللهُمّ صَلّ وَسَلّمْ عَلى
مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وِأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ
الدّيْن.
فَيَا
أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، اِتَّقُوا اللهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ، وَاتَّقُوا اللهَ
لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ
قَالَ اللهُ
تَعَالَى فِي الْقُرْآنِ الْكَرِيْم
يَاأَيّهَا الّذَيْنَ آمَنُوْا اتّقُوا اللهَ
حَقّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنّ إِلاّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ
يَاأَيّهَا النَاسُ اتّقُوْا رَبّكُمُ الّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَنِسَاءً وَاتّقُوا اللهَ الَذِي تَسَاءَلُوْنَ بِهِ وَاْلأَرْحَام َ إِنّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا
يَاأَيّهَا النَاسُ اتّقُوْا رَبّكُمُ الّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَنِسَاءً وَاتّقُوا اللهَ الَذِي تَسَاءَلُوْنَ بِهِ وَاْلأَرْحَام َ إِنّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا
يَاأَيّهَا الّذِيْنَ آمَنُوْا اتّقُوا اللهَ
وَقُوْلُوْا قَوْلاً سَدِيْدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْلَكُمْ
ذُنُوْبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيْمًا،
أَمّا بَعْدُ
فَأِنّ أَصْدَقَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ، وَخَيْرَ الْهَدْىِ هَدْىُ مُحَمّدٍ
صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّمَ، وَشَرّ اْلأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلّ
مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةً، وَكُلّ ضَلاَلَةِ فِي النّارِ.
Hadirin, sidang jum’at yang dirahmati
Allah
Puji syukur kita sanjungkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, yang telah
memberikan karunia dan rahmat-Nya kepada kita, nikmat sehat, nikmat rezeki,
lebih-lebih nikmat iman dan islam, semoga dengan datangnya kita ke masjid ini
untuk menunaikan shalat jum’at merupakan ujud syukur kita kepada-Nya.
Shalawat dan salam kita sampaikan kepada
nabi Kita Muhammad Shalallahu Alaihi Wasallam, yang kita jadikan sebagai
teladan dan pimpinan dalam kehidupan ini, teladan dalam hidup pribadi,
berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Khatib mengajak kita semua untuk
meningkatkan kualitas iman, takwa dan amal shaleh, dari satu shalat ke shalat
berikutnya, dari satu jum’at ke jum’at selanjutnuya dan dari satu Ramadhan ke
Ramadhan berikutnya.
Hadirin, sidang jum’at yang dirahmati
Allah
Menjadi
seorang mukmin akan menampilkan pribadi yang berbeda dengan lain orang dari
aqidah, fikiran, ibadah dan akhlak sehingga kriteria mereka adalah orang yang
salimul aqidah yaitu aqidah yang yang selamat atau bersih dari noda-noda
syirik, salamatul fikrah yaitu fikiran yang tidak terkontaminasi oleh pemikiran
diluar bingkai islam, ibadahnya shahihah yaitu ibadah yang bersih dari bid’ah
serta matinul akhlak, yaitu akhlak yang
mulia, itulah sifat dan karakter shaleh dengan watak lainnya sebagai pelengkap.
Shalih dalam Alquran banyak diulang
dalam beberapa ayat dan semuanya menunjukkan pada satu predikat, yaitu
indikator keimanan seseorang.Rangkaian ayat dalam Alquran sering digabungkan
antara “alladzina aamanuu” dengan “amilus shalihat.” Hal ini mengandung faidah
bahwa antara iman dan amal shalih tidak bisa dipisahkan, bagai dua sisi mata uang
(like two sides a coin), satu sama lain saling menyempunakan.
Dalam Kamus al-Munawwir, istilah
Shalih mengandung makna al-Jayyid (bagus), al-Baar (sholeh), al-manfa’at
(kemanfaatan), al-Ni’mat al-Waafirah (keni’matan yang sempurna), dan
lain-lain.Semua istilah tersebut merujuk pada satu kata ‘kebaikan.’Tolok ukur
kelakuan baik dan buruk mestilah merujuk kepada ketentuan Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Demikian rumus yang diberikan oleh
kebanyakan ulama.Apa yang dinilai baik oleh Allah, pasti baik dalam esensinya.
Demikian pula sebaliknya, tidak mungkin Dia menilai kebohongan sebagai kelakuan
baik, karena kebohongan esensinya buruk.
Berbuat baik (amal shalih) tentu tidak cukup hanya untuk diri sendiri saja.Hal tersebut hanya memberikan kesan menjadi shalih secara individual, padahal Islam menganjurkan terwujudnya suatu sistem akhlak yang mengerucut pada predikat kesahalihan sosial (kolektif/jama’i).
Berbuat baik (amal shalih) tentu tidak cukup hanya untuk diri sendiri saja.Hal tersebut hanya memberikan kesan menjadi shalih secara individual, padahal Islam menganjurkan terwujudnya suatu sistem akhlak yang mengerucut pada predikat kesahalihan sosial (kolektif/jama’i).
Islam adalah sebagai sistem aturan
(agama) yang berfungsi sebagai rahmatan lil ‘alamin.Karena itu, sasaran akhlak
yang baik selain untuk diri sendiri juga untuk Allah Subhanahu Wa Ta’ala,
sesama manusia, dan alam secara keseluruhan.
Perintah agama untuk berbuat
kebaikan pada dasarnya merupakan washilah yang akan menghantarkan kita pada
derajat keridhaan Illahi nanti di akhirat. Perintah dan dorongan berbuat baik
itu datang dari Allah melalui para utusan-Nya.Namun sesungguhnya dorongan
kepada kebaikan itu sudah merupakan “bakat primordial” manusia, bersumber dari
hati nurani (nurani, bersifat nur atau terang) karena adanya fitrah pada
manusia. Oleh karena itu berbuat baik merupakan sesuatu yang “natural” atau
alami, karena dia tidak lain adalah perpanjangan nalurinya sendiri, alamnya
sendiri, yang ada secara primordial, sejak seseorang dilahirkan ke dunia ini.
Maka jika Allah memerintahkan kita
berbuat baik, sesungguhnya seolah-olah Dia hanyalah mengingatkan kepada kita
akan “nature” kita sendiri, kecenderungan kita sendiri. Dengan kata lain,
berbuat baik adalah sesuatu yang manusiawi, yang sejalan dan mencocoki sifat
dasar manusia itu sendiri. Dengan sendirinya perbuatan jahat adalah melawan
kemanusiaan, menyalahi sifat dasar manusia itu.[Ihsan Faisal Mag, Hikmah: Keshalihan Sosial, Rabu, republika.co.id.02 Maret
2011, 07:26 WIB].
Kriteria hamba yang shaleh itu tidak
hanya sebatas iman dan amal yang dilakukannya tapi seluruh asfek keimanan harus
nampak pada pribadinya, betapa banyaknya orang yang nampaknya shaleh dari segi
pakaian dan ucapan tapi sebenarnya keshalehannya belumlah dapat dijadikan
sebagai ukuran, ada orang yang nampak baik dalam kehidupannya dengan ibadah
shalat yang tekun, santun dan mengabdi kepada orangtua, disiplin dalam bekerja,
bicaranya terjaga apalagi gunjing dan caci-maki tidak pernah terdengar dari
lisannya sehingga orang sekampungnya menyebutnya “lelaki dipintu syurga” tapi
terakhir dia diketahui melakukan korupsi milyaran rupiah. Inilah kriteria hamba
yang shaleh itu sebagaimana yang disebutkan oleh Muhammad Kosim MA; Setiap
Muslim pasti menginginkan menjadi hamba yang saleh.Bahkan, sesudah kita
berwudlu untuk menghadap dan berdialog dengan Allah (shalat), kita disunahkan
berdoa kepada-Nya. Salah satu doa tersebut adalah 'dan jadikanlah aku termasuk
kelompok hamba-Mu yang saleh". Jangankan sebagai manusia biasa, Nabi
Ibrahim AS pun berdoa:
"Ya Tuhanku, berikanlah kepadaku hikmah dan masukkanlah aku ke dalam golongan
orang-orang yang saleh." (QS Asy-Syu'ara [26]: 83).
Untuk
menjadi hamba yang saleh, perlu diketahui kriteria hamba-hamba yang saleh
tersebut.Dengan memahami kriteria tersebut, diharapkan kita berupaya untuk
melakukannya sehingga di hadapan Allah kita termasuk dalam golongan hamba-hamba
yang saleh.
Adapun kriteria hamba yang saleh,
disebutkan oleh Allah dalam Alquran surah Ali Imran [3] ayat 113-114.
Mereka itu tidak sama; di
antara Ahli Kitab itu ada golongan yang berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat
Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud
(sembahyang).
Mereka beriman kepada Allah dan hari penghabisan, mereka menyuruh
kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar dan bersegera kepada
(mengerjakan) pelbagai kebajikan; mereka itu termasuk orang-orang yang saleh.
Dalam
ayat ini, disebutkan tujuh kriteria hamba yang saleh.
Pertama, orang yang berlaku lurus (memiliki karakter istikamah).Yakni, teguh pendirian,
konsisten, dan komitmen dalam meyakini dan melakukan kebenaran.
Kedua, senantiasa membaca ayat-ayat
Allah, baik yang qauliyah (naqliyah),
maupun ayat-ayat kauniyah (aqliyah).
Ketiga, mereka yang senantiasa sujud di tengah keheningan malam, dengan melaksanakan
shalat malam.
Keempat, beriman kepada Allah.Setiap perbuatan dan tingkah lakunya dilandasi dengan
zikir (ingat) Allah. Dengan demikian, zikir itu akan menjadi alat kontrol
dan stabilitator baginya dari berbagai kemaksiatan dan dosa.
Kelima, beriman kepada hari akhir.Kehidupannya senantiasa beroritenasi akhirat dan
jangka panjang.Ia mengisi waktunya dengan kegiatan positif yang bernilai
ibadah.
Keenam, mengajak orang lain untuk
berbuat baik dan menghindari kejahatan atau kemaksiatan. Ia harus menjadi teladan, sehingga orang lain bisa
mengikutinya. Ketujuh, bersegera melakuan kegiatan positif.Hamba yang saleh
tersebut senantiasa berlomba-lomba melakukan kebaikan yang dilandasi dengan
keikhlasan karena untuk Allah SWT.
Tujuh
karakter di atas merupakan karakter hamba yang saleh. Dari ayat ini pula dapat
disimpulkan bahwa kesalehan tersebut mencakup dua hal, yaitu kesalehan ritual
dan kesalehan sosial.[Muhammad Kosim MA,Tujuh Kriteria Hamba Saleh, RepublikaSelasa, 01 Juni 2010, 22:27 WIB].
Dr. Saad Riyadh
dalam bukunya berjudul Jiwa Dalam Bimbingan Rasulullah Saw, menyatakan;
Diriwayatkan
bahwa pada kesempatan lain Utsman bin Affan ra, pernah berkata,”Jauhilah
minuman keras karena ia adalah keburukan terbesar. Pada ummat dahulu yang
datang sebelum kalian, ada seorang laki-laki yang sangat shaleh.Kemudian ada
seorang perempuan yang jatuh cinta kepadanya. Perempuan itu lalu mengutus
seorang pelayannya kepada laki-laki itu seraya berkata,”Sesungguhnya kami
bermaksud mengundangmu untuk menjadi saksi terhadap suatu urusan.” Keduanya
selanjutnya pergi ke rumah perempuan tadi.
Sesampainya
disana, setiap kali laki-laki shaleh itu melewati sebuah pintu di dalam rumah
itu maka pelayan tadi segera menguncinya.Pada akhirnya, laki-laki itu menjumpai
di dalam rumah seorang perempuan dengan aroma yang sangat wangi.Disamping
wanita itu ada seorang anak kecil dan sebuah bejana berisi minuman
keras.Perempuan itu lalu berkata,”Demi Allah, saya sebetulnya tidak
mengundangmu dengan maksud menjadi saksi, tetapi agar engkau menyetubuhi
saya.Jika engkau menolak maka engkau harus meminum segelas minuman keras ini
atau kalau tidak membunuh anak kecil ini.
Laki-laki
shaleh tadi kemudian berkata,”Berikan kepada saya segelas minuman keras itu.”
Ternyata setelah meminumnya, dia kemudian terus meminta tambah sampai akhirnya,
dengan tidak menunggu lebih lama, dia kemudian menyetubuhi perempuan itu
sekaligus membunuh anak kecil.Oleh karena itu, jauhilah minuman keras. Demi
Allah swt, iman tidak akan pernah bersatu pada diri seseorang yang memiliki
kebiasaan meminum minuman kera. Jika keduanya bertemu pada diri seseorang maka
salah satu diantaranya harus keluar.” [HR. An Nasa’i].
Rasulullah
secara intensif memperingatkan manusia agar menjauhi hal-hal yang dapat
menghancurkan kehidupan mereka serta mewaspadai tipu daya setan yang tidak akan
pernah berhenti menggoda manusia sebelum terjerumus ke dalam jurang kesesatan.
[Gema Insani, 2007, hal 69].
Berbahagialah
orang yang meninggalkan dunia sebelum dunia meninggalkannya, yang membangun
kuburannya sebelum memasukinya dan yang ridha kepada Tuhannya sebelum berjumpa
dengan-Nya.” (Yahya bin Muadz ar-Razi dalam
An-Nawawi, Nasha'ih al-'Ibad, hlm. 12).
Mengomentari
pernyataan di atas, Imam an-Nawawi menyatakan: Pertama, 'meninggalkan dunia'
sebelum 'dunia meninggalkannya' bermakna menghabiskan harta dalam berbagai amal
kebajikan sebelum Allah mencabut harta itu dari dirinya. Kedua, 'membangun
kuburan' sebelum memasukinya bermakna memperbanyak
8
amal shalih saat di dunia sehingga ia bisa
merasakan kedamaian di alam kuburnya saat kematiannya. Ketiga, ridha kepada
Tuhannya sebelum berjumpa dengan-Nya adalah dengan menjalankan seluruh perintah
Allah dan menjauhi semua larangan-Nya sebelum ia menghadap Allah SWT untuk
mempertanggungjawabkan seluruh perbuatannya.
Jika
direnungkan, pernyataan di atas sesungguhnya amat dalam maknanya dan amat
berharga.Apalagi jika dikaitkan dengan realitas kehidupan kaum Muslim saat ini.
Saat
ini, sebagaimana kita lihat, banyak Muslim yang hidupnya berkecukupan.Namun,
banyak di antara yang berkecukupan itu menghabiskan hartanya justru dalam
perkara-perkara yang kurang bermanfaat, bahkan dalam perkara-perkara maksiat.
Tak sedikit orang yang dengan mudah membeli segelas kopi seharga puluhan ribu
di hotel mewah, tetapi begitu susah mengeluarkan beberapa rupiah saja untuk
bersedekah. Banyak orang dengan yang dengan ringan merogoh sakunya ratusan
bahkan jutaan rupiah untuk menyewa kamar di hotel berbintang beberapa malam
saja, namun betapa berat mereka menyumbang untuk dakwah atau membangun masjid
meski dengan jumlah yang sedikit.
Tak
sedikit orang berlomba membangun rumah atau apartemen mewah meski tentu hanya
untuk hidup sementara saja. Anehnya, mereka tak sedikitpun tertarik untuk
berlomba-lomba 'membangun kuburannya' (baca: dengan memperbanyak amal shalih
sebagai bekal di dalamnya). Padahal alam kubur itulah yang akan mereka tempati,
sebagai alam penantian, sebelum pada akhirnya ia tinggal di alam akhirat dengan
abadi.
Banyak
pula orang yang jarang menunaikan perintah-perintah Allah SWT dan malah banyak
meninggalkan larangan-larangan-Nya, seolah-olah ia tak pernah ridha menerima
semua itu dari Tuhannya; seakan-akan ia tak akan pernah bertemu dengan-Nya di
Hari Akhir nanti untuk mempertanggungjawabkan seluruh sikap dan amal
perbuatannya itu saat di dunia. [Agar Mulia Di Mata Allah SWT, Mediaummat.com.Thursday,
05 August 2010 14:06].
Setiap
Muslim tentu mendambakan dirinya menjadi orang shalih.Namun, bagi sebagian
orang, menjadi orang shalih kadang hanya sebatas keinginan, tidak benar-benar
diwujudkan.Kadang, keinginan menjadi orang shalih itu malah kontraproduktif
dengan praktik-praktik yang dilakukan.Betapa banyak Muslim yang malah
mendatangkan halangan-halangan bagi dirinya untuk menjadi orang yang salih.
Berkaitan
dengan ini, Imam Ali pernah berkata, ”Seandainya
tidak ada lima perkara, seluruh manusia tentu menjadi orang-orang shalih.
Pertama: Merasa puas dengan kebodohan. Kedua: Terlalu fokus terhadap dunia.
Ketiga: Bakhil terhadap harta. Keempat: Riya dalam beramal. Kelima:
Membanggakan diri sendiri.” (Muhammad Nawawi bin Umar al-Jawi, Nasha’ih
al-’Ibad, hlm. 32).
Inilah
lima perkara yang oleh Imam Ali dianggap sebagai ’penghalang’ seseorang untuk
menjadi orang shalih.
Terkait dengan yang pertama (merasa puas dengan kebodohan),
jelas sikap ini tercela dalam Islam yang nyata-nyata telah mewajibkan setiap
Muslim untuk menuntut ilmu. Rasulullah SAW bersabda, ”Menuntut ilmu adalah kewajiban setiap Muslim.” (HR Muslim).
Rasul SAW juga bersabda, ”Allah SWT murka terhadap orang yang
memiliki ilmu tentang dunia tetapi tidak memiliki ilmu tentang akhirat
(agama).” (HR al-Hakim).
Juga
sabdanya, ”Dosa orang yang berilmu itu
satu, sementara dosa orang bodoh itu dua.” (HR ad-Dailami).Maksudnya, orang
yang berilmu tetapi tidak mengamalkan ilmunya mendapatkan satu dosa. Dengan
kata lain, dia gugur dari dosa menuntut ilmu, tetapi tetap berdosa karena tidak
mengamalkan ilmunya. Adapun orang yang bodoh mendapatkan dua dosa: dosa karena
tidak menuntut ilmu sehingga menjadikan dirinya bodoh dan dosa karena dia tidak
beramal. Sebab, bagaimana dia bisa beramal, atau apa yang mau diamalkan,
sementara dia tidak berilmu?
Terkait dengan yang kedua (terlalu fokus terhadap dunia),
sikap ini pun buruk dalam pandangan Islam. Sebab, Allah SWT telah berfirman:
Carilah pada apa yang telah Allah anugerahkan
kepada kalian (kebahagiaan) negeri akhirat dan jangan kalian melupakan bagianmu
dari (kenikmatan) duniawi (QS al-Qashash [28]: 77).
Dalam
ayat ini bahkan kebahagiaan akhirat lebih didahulukan daripada kebahagian dunia
meski manusia didorong untuk bisa meraih kedua-duanya. Rasul juga bersabda,
”Sebaik-baik kampung dunia adalah bagi orang yang menjadikannya sebagai bekal
untuk akhiratnya hingga ia ridha kepada Tuhannya. Seburuk-buruk kampung dunia
adalah bagi orang yang terpalingkan olehnya sehingga berkurang keridhaan
kepada Tuhannya.” (HR al-Hakim).
Terkait dengan yang ketiga (bakhil terhadap harta),
maka kita tampaknya perlu menyadari kata-kata Imam Ja’far ash-Shadiq. Beliau
pernah menyatakan, seorang hamba mesti menyadari bahwa apa yang ada padanya
bukan miliknya, tetapi milik ’tuan’-nya, yakni Allah SWT. Segala hal yang ada
padanya adalah titipan dari-Nya.Jadi, tak selayaknya dia bakhil terhadap harta,
yang juga sesungguhnya merupakan titipan Allah yang kebetulan Dia titipkan
kepadanya.
Terkait dengan yang keempat (riya dalam beramal),
Rasullullah bersabda, ”Orang yang paling keras azabnya pada Hari Kiamat
adalah orang yang berlaku riya di hadapan manusia bahwa ia telah berbuat baik,
padahal tak ada kebaikan sedikit pun di dalamnya.” (HR ad-Dailami).
Rasul
pun bersabda, ”Sesungguhnya Allah SWT mengharamkan surga atas orang-orang yang
berbuat riya.” (HR Abu Nu’aim).
Terakhir, terkait dengan yang kelima
(membanggakan diri sendiri),
kita pun sejatinya menyadari, bahwa tak layak manusia membanggakan diri.
Sebab, sejak awal manusia diciptakan dari ’air yang hina’. Lebih dari itu, apa
yang harus dibanggakan manusia jika semua yang ada padanya, termasuk dirinya
sekalipun, adalah milik Allah Subhanahu Wa Ta’ala, Pencipta manusia dan seluruh
jagad raya ini? Tentu sangat janggal dan aneh jika manusia berbangga atas apa
yang orang lain titipkan kepadanya. Bukankah aneh jika kita berbangga diri
hanya karena dititipi rumah (walau rumah mewah) oleh tetangga samping rumah
kita yang kebetulan sedang bepergian jauh?Bukankah aneh jika kita harus takjub
diri jika teman kita menitipkan mobilnya (meski mobil itu super mahal) kepada
kita saat kebetulan dia harus ke luar negeri? Karena itu, tentu aneh pula jika
kita berbangga diri, apalagi bersikap sombong, atas apa saja yang telah Allah
titipkan kepada kita (anak-istri, rumah, mobil, apartemen, tanah/sawah yang
luas, serta harta kekayaan lainnya yang melimpah ruah). Sebab, bukankah semua
itu hakikatnya milik Allah Subhanahu Wa Ta’ala, yang kebetulan Dia titipkan
kepada kita?[Penghalang Menjadi Orang Shalih, Media Ummat; Sunday, 18 July 2010
12:06].
Begitu besarnya godaan yang dihadapi
oleh orang yang shaleh berupa konspirasi syaitan untuk meruntuhkan
keshalehannya sehingga wajar bila di masyarakat ada ungkapan bahwa orang yang
tinggi imannya akan dihadapi oleh syaitan dengan level yang tinggi pula.Selain
itu syahwat dan nafsu juga memegang peran menyesatkan pribadi shaleh kepada
perbuatan dosa dan maksiat.Untuk itulah orang yang shaleh harus berupaya
menghindari segala sesuatu yang dapat menggoda untuk meruntuhkan keshalehannya
dengan berhati-hati dalam bersikap, bertindak dan berprasangka, pribadi yang
baik bukanlah orang yang tidak pernah berbuat salah tapi adalah orang yang selalu
menjaga pribadinya untuk baik serta menyadari kesalahannya dengan bertaubat. Wallahu A’lam.
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ
الْعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ
الْحَكِيْمِ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ لِيْ
وَلَكُ
Khutbah Kedua
اَلْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِيْنَ، وَلَا عُدْوَانَ إِلَّا عَلَى الظَّالِمِيْنَ.
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاّ اللهُ ،
وَأَشْهَدُ أَنّ مُحَمّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الصَّادِقُ الْوَعْدُ
الْأَمِيْنُ.
اَللهُمّ صَلّ
وَسَلّمْ عَلى مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وِأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ
إِلَى يَوْمِ الدّيْن.
عِبَادَ اللهِ ، أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ
وَطَاعَتِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ.
قَالَ اللهُ
تَعَالَى فِي الْقُرْآنِ الْكَرِيْم
إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيماً
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ،وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.
إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيماً
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ،وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.
اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ،
وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ.
اَللَّهُمَّ أَرِنَا الْحَقَّ حَقًّا وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ، وَأَرِنَا
الْبَاطِلَ باَطِلاً وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ. رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا
حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا هَبْ لَنَا
مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ
إِمَامًا. سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ، وَسَلاَمٌ عَلَى
الْمُرْسَلِيْنَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.
عِبَادَ اللهِ، إِنَّ
اللهَ يَأْمُرُكُمْ بِالْعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيتَآئِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ
الْفَحْشَآءِ وَالْمُنكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. وَلَذِكْرُ
اللهِ أَكْبَرُ